Irene masih berdiri mematung di depan wastafel kamar mandi. Ia mengamati pantulan wajahnya pada cermin, kejadian sore tadi masih terngiang-ngiang di kepala, terekam dengan sangat jelas. Saat pria itu tiba-tiba menciumnya dan dirinya malah diam saja. Irene berkali-kali merutuki kebodohannya sambil mengacak rambut frustrasi. Sungguh, ia tak berani keluar dari sini. Apalagi harus bertatap muka langsung dengan laki-laki itu.
Suara ketukan pintu sontak membuatnya terperanjat kaget.
"Apa kau masih lama?" tanya Suho dari luar sana.
"Umm, mungkin sebentar lagi. Kenapa?"
"Aku tunggu di bawah buat makan malam."
Dirasa pria itu sudah keluar kamar, Irene langsung bergegas menuju lemari dan berganti pakaian. Ia memilah-milah baju mana yang cocok. Diambilnya dress warna hijau tua lalu mengepaskan di tubuhnya. "Apa ini terlihat pantas kupakai? ... nampaknya terlalu ketat."
Irene mengembalikan dress itu dan mencari baju lain. "Tunggu ... kenapa aku harus repot-repot melakukan ini? Kau bodoh, Rene. Jelas-jelas ini cuma makan malam, bukan acara kencan." Ia terkekeh menyadari tingkah konyolnya. Gadis ini mengambil hoodie warna orange--memakainya--dan langsung keluar.
Begitu sampai di resto hotel, Irene menghampiri Suho di sebuah meja. Dirinya tertegun, karena ternyata pria ini juga mengenakan hoodie yang sama dengannya. Mulai dari model, merek, hingga warna. "Kau juga punya ternyata," kata Irene canggung dan langsung duduk.
"Ah, iya. Aku membelinya di Washington tahun lalu," balas Suho seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Washington? Pameran busana Stephanie Lee?"
Mata Suho sedikit melebar, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku jadi salah satu model di sana," jawab Irene. "Tapi, kamu ngapain datang ke acara itu?"
"Ada urusan bisnis." Suho terdiam untuk beberapa detik, lalu kembali berbicara, "umm, untuk kejadian yang tadi, aku--"
"Stop!" potong Irene cepat. "Aku paham, kau melakukannya tanpa sengaja. Itu hanya kesalahan, dan lebih baik kita lupakan. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi." Ia meraih segelas air putih di meja lalu meneguknya sampai habis tak tersisa.
Pria ini berdehem lalu mengangguk meng-iyakan, "Oke. Mari kita lupakan," balasnya.
Tak lama kemudian muncul dua pelayan wanita yang membawa hidangan makan malam. Dengan sopan meletakkan makanan itu di meja, "Selamat menikmati, Tuan dan Nyonya," ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum ramah.
"Thanks you," balas Suho.
Irene masih melongo melihat berbagai macam makanan yang hampir memenuhi meja. Fried rice, spaghetti carbonara, sirloin steak, chicken katsu, salad, curry, scramble eggs, sushi, orange juice, ice tea, dan juga milk shake. Ia menatap hidangan itu satu persatu seraya menggeleng keheranan.
"Kau yang pesan semua ini?"
Suho mengangguk meng-iyakan, "Kenapa? Aku hanya pesan menu favorit resto." Tangannya meraih segelas ice tea lalu menyerotnya. "Makanlah! Pilih saja yang kamu suka."
Irene masih diam tak bergeming. Gadis ini malah terbengong seakan-akan baru melihat makanan sebanyak ini. Suara ketukan meja sontak membuat lamunannya buyar seketika.
"Kenapa tidak makan? Tak suka dengan menunya? Mau kupesankan yang lain?" tanya Suho yang langsung dibalas dengan gelengan kepala dari wanita itu.
Irene mengambil sendok lalu menyicip semangkuk curry yang masih hangat. Matanya membulat menampakkan ekspresi terkejut. Tangannya beralih memotong scramble eggs, Lalu melahapnya. "Woah, daebbak! Bagaimana bisa rasanya selezat ini?" serunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
FanficIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...