Pertemuannya dengan pria bermarga Wang itu benar-benar membebani pikiran Irene selama beberapa hari terakhir. Seluruh rongga kepalanya seolah terisi penuh dengan bayangan si keparat bernama Jackson–-mantan kekasih–-yang kini menjadi musuh. Tak habis pikir kenapa dulu ia bisa termakan bujuk rayu mulut buaya itu, bahkan sampai tergila-gila.Sadar, jika dulu ia sempat buta.
Jackson memang lelaki yang nyaris sempurna dengan segala kemaskulinannya, dalam hal daya tarik wanita, dunia jahanam bisnis, dan mengenai ranjang, dia adalah paduan kesempurnaan yang diciptakan. Sangat sesuai subjek, predikat, objek, dan kata kasar.
Sosok yang selalu ia puja-puja karena perawakan kharismatiknya. Tubuh tinggi, rahang kokoh dengan bibir kissable yang menggoda. Alis sehitam arang dengan mata tajam yang dilatih mengintai cemerlang. Wanita mana yang tidak akan tertarik? Siapapun pasti terpesona, dan sangat ingin memilikinya.
Saat Jackson melamar dirinya, Irene merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Masa depannya bakal terjamin, bukan hanya soal harta, tapi juga tentang kepuasan dan kebebasan. Tapi pada kenyataannya semua itu hanyalah semu, ia berharap pada orang yang salah. Jackson tak lebih kotor daripada sampah, dan manusia itu aib paling buruk dari yang terburuk. Yang sangat ia tutup rapat-rapat, bahkan menganggap jalinan asmaranya dulu tak pernah ada sebelumnya.
"BAE IRENE!" Teriakan itu sontak membuyarkan lamunannya. Ia menoleh--dilihatnya Suho yang sudah mengenakan setelan jas rapi--berjalan cepat ke arahnya. Tanpa berkata apapun, pria ini langsung mematikan kompor dengan wajah panik.
"Kau gila?! Kau berencana untuk membakar rumah ini?!" Suho menggeser tubuh wanita itu, mengambil teflon berisi telur dadar yang menghitam tak berbentuk. Ia mengibaskan tangannya, menghalau asap yang mengepul--sedikit membuat ia terbatuk. Usai meletakkan teflon itu di wastafel, ia lalu duduk di kursi meja makan--mengambil segelas air putih--menegaknya sampai habis tak bersisa.
Helaan napas panjang menyiratkan rasa lega dalam hati. Tuhan masih baik kali ini. Tak bisa dibayangkan kemungkinan terburuk terjadi, jika ia tidak segera menyadari kecerobohan yang Irene lakukan.
"Apa yang tengah kau pikirkan, sampai-sampai melamun di pagi hari seperti ini?" tanyanya menoleh pada Irene yang masih berdiri mematung ditempatnya.
"Maaf. Akan kubuatkan yang baru lagi."
"Sudahlah, tidak perlu. Aku sarapan di kantor nanti," larang Suho.
Irene berjalan mendekat ke wastafel--memakai sarung tangan karet berwarna merah--dan mulai membereskan kekacauan yang ia buat.
"Kau tidak ada rencana untuk cerai?" Itu adalah kata sambutan Irene semenjak ia menginjakkan kakinya di rumah ini. Tinggal bersama dan menjalani hari-hari sebagai istri seorang CEO ternama, hanya karena perjodohan orang tua mereka.
Jujur ia sangat merasa berdosa pada Tuhan, atas sumpah palsu yang terikrar di atas altar bersama pria itu saat hari pernikahan. Sudah dapat diyakini, para tetua akan langsung memenggal kepalanya, jika tahu anak-anaknya menjadikan ritual sakral ini sebagai candaan.
Belum juga rasa kesalnya menghilang, sekarang ditambah dengan lontaran pernyataan bodoh dari mulut Irene. Otomatis kian berapi juga amarah Suho. "Seriously? Belum genap satu bulan, cerai. Kau mabuk?"
"Kenapa kau marah? Aku hanya bertanya. Lagipula ini yang kau inginkan dari awal bukan?"
"Dasar gila! Kau ingin netizen maha benar itu berkomentar apa lagi, huh?! Kita sepakat untuk mengakhirinya dalam enam bulan. Carilah alasan yang tepat lebih dahulu. Jika ingin kembali dengan mantan kekasihmu itu, silahkan. Tapi tunggu nanti setelah rencana kita selesai," ujar Suho berurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
FanficIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...