"Konkusio otak bukanlah hal yang sepele. Apa kau tidak mau sembuh?"
Suho berdecih, "Tapi aku tidak sakit Dokter Zhang," ujarnya tersenyum tipis.
Pria ber-jas putih yang dipanggil Dokter Zhang itu membuang napas berat. Raut wajahnya nampak menahan emosi dan begitu frustrasi. Bagaimana tidak? Jauh-jauh dirinya menyusul Suho ke Korea, setelah mendapat amanah dari Yewon untuk merawat putranya. Suho sendiri malah tak mengindahkan perintahnya sama sekali. Bukan apa-apa, tapi sebagai seorang dokter ia punya kewajiban pada pasiennya.
"Kapan terakhir kali kau minum obatmu?"
"Ummm..." gumam Suho mengingat-ingat. "Mungkin dua atau tiga minggu yang lalu. Aku tidak terlalu yakin. Sudah lama aku tidak meminumnya."
"Suho-ya... kau itu bukan anak kecil lagi. Harus berapa kali kukatakan untuk rutin meminumnya, huh?!" Nada bicara dokter itu terdengar agak marah.
Lelaki Kim ini menyandarkan punggung di kursi seraya melipat kedua tangannya. Mendadak ia terkekeh-kekeh dan tentunya hal itu membuat Dokter Zhang mengernyit heran.
"Semuanya sama saja, tidak ada yang berubah, Lay. Dan itu cukup membosankan.
"Apa sekarang kau menyesal?"
Suho menggeleng, "Hanya menyayangkan... Tuhan terlalu baik membiarkanku hidup waktu itu," ujarnya.
"Kalau begitu mati saja. Lompat dari gedung ini sekarang, atau biar lebih dramatis tenggelam di Sungai Han sana! Silahkan, aku tidak peduli!" sentak Zhang Lay. Ia melepas kacamata miliknya lalu meletakkan di atas meja dengan kasar. "Bisa terkena hipertensi menghadapi manusia kurang waras sepertimu."
"Kenapa kau marah-marah? Lagipula dokter mana yang menyuruh pasiennya untuk bunuh diri? Kejam sekali," decih Suho ikutan kesal.
"Besok jam delapan tepat kau kembali kesini, bersama walimu." Lay menyodorkan selembar kertas putih pada Suho. "Kita terapi okupasi."
"Wali? Aku tidak punya. Kau tahu sendiri kan kedua orangtuaku masih di Perancis?"
"YA! Kim Suho! Kau itu masih punya istri, jangan berkata seolah-olah dirimu itu hidup sebatang kara," balas Lay.
"Istri?" Otak Suho masih nge-bug untuk beberapa detik. Sampai akhirnya ia sadar, siapa yang dimaksud Lay barusan. Suho mendengus pasrah lalu meletakkan kepalanya di atas meja. "Kenapa harus dia?"
☂☂☂
Di depan deretan rak-rak sayur-sayuran, terlihat Wendy tengah sibuk memilah-milah bahan yang hendak di beli. Satu troli belanja telah terisi penuh dan masih ditambah dengan satu keranjang kecil di tangannya. Mungkin ia membeli untuk keperluan satu bulan.
"Minhyuk-ah, kau lebih suka paprika merah atau hijau?" tanyanya pada bocah laki-laki di sebelahnya.
"Aku tidak tahu. Beli saja dua-duanya," jawab Minhyuk malas. Sepertinya anak ini mulai bosan menunggu sang ibu selesai berbelanja. "Ma, ini sudah lebih dari sejam. Apa masih lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
FanfictionIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...