Jisoo masih mencerna baik-baik kalimat yang barusan ia dengar. Irene menyuruhnya untuk tetap mencintai Suho, disaat pria itu kini sudah menjadi milik orang lain. Apa ini masuk akal? Dirinya masih belum percaya, dan nalarnya tidak sampai untuk menggapai maksud yang dikatakan oleh wanita di sampingnya ini."Tunggu, apa kau sedang bercanda, Irene-ssi?" tanya Jisoo dengan tatapan bingungnya. "Dan kenapa aku harus melakukan itu?"
"Apa ucapanku terlihat seperti candaan?" balas Irene menatap Jisoo datar. "Akan kuberitahu alasannya nanti. Sekarang jawab pertanyaanku, kau bisa melakukannya atau tidak?"
"Akan ku jawab setelah tahu alasannya."
"Cih," decih Irene. "Kau mau alasan yang simpel atau jelas?"
"Simpel," timpal Jisoo.
Gadis bermantel cokelat ini tersenyum miring menatap boneka kucing di dashboard mobil, seolah itu adalah hal yang menarik. "Karena Suho masih mencintaimu dan masih mengharapkanmu," ujarnya.
"Hanya itu?! Tapi ini--"
"Jisoo-ssi!" potong Irene cepat. "Bisakah untuk tidak bertanya lagi. Kamu harusnya bersyukur karena aku sangat murah hati padamu."
"Ini gila. Sebenarnya apa rencanamu? Kenapa kau jahat sekali?! Buat apa aku berharap lagi dengan Suho yang jelas-jelas dia itu suamimu." Rahang Jisoo mengeras dan matanya nampak berapi-api.
"Orang jahat? Aku?! Sebelum mengatakan itu sebaiknya kamu bercermin dulu," gertak Irene. "Siapa yang dulu pergi begitu saja tanpa kabar? Siapa yang membuatnya terlihat bodoh karena menunggu wanita sepertimu, huh?!" lanjutnya penuh penekanan.
Wanita bersurai hitam kecoklatan ini langsung terdiam. Pernyataan itu sangatlah menusuk, jauh ke relung hati yang paling dalam--membuatnya kehilangan kata-kata. Jisoo tertunduk dan manik matanya kini berubah sendu. Ada seberkas rasa penyesalan di sana, "Aku bisa, tapi aku tidak mau," ujarnya kemudian.
"Kau tahu kan kesempatan tidak datang dua kali. Pikirkan baik-baik, jangan sampai kamu menyesal nantinya. Karena aku bisa dengan mudah merebut Suho darimu," cicit Irene yang terdengar seperti ancaman. "Kuberi waktu untuk berpikir, hubungi aku jika kamu berubah pikiran," lanjutnya sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
Jisoo menerimanya, dan pamit untuk pergi. "Bilang ke Suho kalau aku tak bisa menerima barang ini." Ia meletakkan kotak itu di sebelah Irene, lalu bergegas keluar mobil.
"Ya! Han Jisoo!" Seruan Irene barusan sontak membuat langkah Jisoo terhenti. Ia mengambil kotak itu, lalu melemparkannya lewat jendela mobil ke arah Jisoo. "Setidaknya hargai pemberiannya dan jangan sok jual mahal!"
Irene langsung menutup kembali kaca mobilnya--menyalakan mesin dan pergi dari tempat itu. "Apa bicaraku tadi keterlaluan? Sepertinya tidak," gumamnya. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam saku mantelnya, tampak secarik kertas yang penuh dengan tulisan-tulisan. "Aishh ... aku rasa sudah menghafal semua teksnya, tapi kenapa aku lupa mengatakan kalimat ini?" kesalnya seraya menatap tulisan itu.
'cinta itu memang suka muncul tiba-tiba, tapi terkadang juga bisa menghilang secara tiba-tiba, tanpa kita sadari.'
"Woah, sepertinya bakal terlihat keren jika aku mengatakannya tadi," cetus Irene tersenyum puas.
☂☂☂
Hari menjelang petang, Irene yang baru saja pulang langsung memarkirkan mobilnya dan masuk rumah dengan membawa paper bag berisi belanjaan miliknya. Ia terperanjat ketika melihat Suho yang tertidur di sofa ruang tamu. Gadis ini berjingkat, sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Setelah meletakkan barang-barang di kamar, ia kembali turun lalu menyelimuti Suho dengan selimut yang dibawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
FanfictionIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...