Aku pun Pernah Sangat Menggilainya

1.6K 92 2
                                    

"Loh, tole di sini." Kiai Abdullah masuk dan menyapa begitu melihat Fay.

"Hehe, iya Paklek. Kata Mama malu anaknya jadi pusat perhatian."

"Yah, biasalah ... namanya orang banyak, pasti punya pikiran lain. Dan itu resikonya orang hijrah." Kini Kiai melihat padaku, hingga aku tersenyum tipis merespon ucapan Abah Yai.

Betapa baik keluarga ini, mereka bisa menerima apa yang terjadi di masa laluku. Entah, jika keluarga lain, mereka pasti malu saat pengantinnya dihina di depan semua orang. Mungkin kah, jika aku jujur nanti mereka juga akan memaafkanku dan tetap menerima sebagai bagian dari keluarga?

"Li juga kudu sabar. Tidak menutup kemungkinan suatu hari akan ada yang mengungkitnya lagi." Nasehat ayah mertua kini ditujukan padaku. Kuanggukkan kepala untuk menghormatinya.

"Ya wes, paklek mau masuk dulu, Fay." Pria yang rambutnya mulai beruban itu memegang pundak Fay sebentar lalu meneruskan tujuannya masuk ke rumah.

"Nggeh, Paklek."

"Loh, Abah mau nyari apa? Biar Ubed bantu." Gus baru buka suara menawarkan bantuan pada abahnya yang sudah berjalan menjauh.

"Wes, ndak usah. Pengantin kok ikut repot. Abah aja sendiri." Kiai Abdullah melangkah meninggalkan kami.

"Hehe. Nggeh, Bah."

Kini perhatian Gus kembali pada Fay. Ada saja yang dibahasnya. Rasanya ingin melarikan diri dari sini tapi tak tahu bagaimana caranya.

"Ini makan kuenya dulu, Kang Fay. Banyak loh ini, aku ndak mungkin habiskan sama Li."

'Tolong jangan terlalu baik pada Fay, Gus. Dia adalah pemuda jahat yang sudah merenggut kehormatan istrimu.'

Kalau saja bisa aku katakan itu. Selagi Bude Arina masih dapur menyiapkan makan untuk Fay, Gus terus bicara dengan lelaki itu. Sedang aku masih menunduk. Sedikit pun tak ingin melihat wajahnya atau pun memperlihatkan wajahku. Mendengar suaranya saja membuatku muak!

"Eh, Dek. Apa Adek mau kembali?" Gus bertanya. Cepat aku mengangguk tanpa mendongak sedikit pun.

"Em, maaf Kang. Sepertinya dia malu. Maklum lah dandanannya seperti ini," sambung Gus kemudian. Dia beralasan penampilanku sekarang tidak boleh dilihat oleh sepupu sialannya itu.

"Oyah. Silakan saja. Aku tadi juga terpaksa ke sini karena diseret Mama. Hehe. Takut anaknya dikeroyok santri mungkin," canda Fay diikuti tawa kecil.

Gak lucu, Fay! Semua yang ke luar dari mulutnya membuatku muak!
Dulu, aku memang pernah sangat tergila-gila padanya. Dia yang kupikir baik karena telah menolongku lepas dari narkoba, sekarang menjadi satu-satunya manusia yang sangat kubenci. Dan aku belum pernah membenci orang lain sebanyak ini.

Tak ingin berlama-lama di dekat Fay, aku bangkit dan berjalan hati-hati ke luar. Menuju singgasana pengantin yang hari ini menjadi milikku.
'Terimakasih, Gus!'
Lagi-lagi kamu menyelamatkanku.

__________

Kami sudah bersiap untuk tidur. Dengan posisi kepalaku yang memakai lengan Gus Bed sebagai bantal. Aku selalu merasa tenang ada di dekatnya seperti ini.
Tidak ada was-was Fay membuka mulutnya, atau cemburu pada wanita lain lantaran Gus tengah bersamaku.

"Bang, apa Ibu Arina dekat dengan keluarga Abang sedari dulu?" tanyaku penasaran. Tentu saja aku tak menyebut nama Fay, agar tidak terlintas sedikit pun di benak Gus Bed bahwa aku dan Fay pernah punya hubungan.

"Hem, ya, Dek. Namanya juga keluarga."

"Tapi lihat Kang Fay ribut tadi, kayaknya dia bukan pria baik-baik. Em, maksud adek apa dia ndak mondok di sini?" Aku sangat berhati-hati bertanya dan mencari-cari alasan supaya bisa tahu tentang Fay.
Ah, bodohnya aku, kenapa sangat ingin tahu kehidupan bajingan yang sudah menghancurkanku?

"Tentang itu, mati-matian Bude Arina mendekati keluarga kami, supaya Fay mau masuk pondok. Tapi, apalah daya. Allah berkehendak lain, Fay jauh dari kami. Sedang kami tidak bisa memaksanya. Dia bahkan dulu juga sempat jadi pecandu narkoba waktu SMA. Sampai Pakde meninggal, dari situ Kang Fay mulai sadar dan sempat direhabilitasi juga. Begitu masuk universitas dan tidak juga lulus, Kang Fay punya masalah baru. Dia frustasi di tahun ke limanya sampai Bude membaanya ke luar negeri. Kasian Bude Arina."

"Frustasi?"

"Huum. Entah apa sebabnya, tapi Bude bilang dia patah hati diputuskan pacarnya."

Seketika pikiranku melayang ke masa lalu yang jauh. Hari di mana pertama kali bertemu Fay yang lambat laun membuatku jatuh cinta padanya.

"O-oh, para gadis sedang berpesta di sini ...." Fay datang dengan ransel di pundaknya. Aku dan tiga temanku kaget dan segera memasukkan alat hisap kami ke kantong.

Nahasnya benda milikku bukannya aman masuk kantong tapi justru jatuh ke bawah. Sedang tiga temanku berlari meninggalkanku.
Begitu kudapatkan barangku dan menggenggamnya, aku akan berlari. Tapi, Fay menarik ranselku hingga tubuhku tertahan.

"Mau ke mana gadis kecil?" Fay tersenyum picik melihatku yang sudah memasang wajah kesal padanya.

Ini gara-gara Shinta yang ngeyel 'ngisep' di pagar belakang universitas Mataraman yang sepi. Katanya tidak pernah ada orang, tapi nyatanya malah ketangkap mahasiswa.

"Lepasin, nggak?" Aku melotot pura-pura berani.

"Ck. Bukannya sekolah yang bener malah nyabu di sini!" Fay menangkap tanganku, lalu menyeretku berjalan.
"Ikut Kakak ke kantor ya."

"Duh, Kak. Jangan! Aku mohon. Aku janji nggak akan ulangi lagi ...." Aku memohon-mohon pada Fay yang tangannya mencengkramku kuat.

Langkahnya berhenti. Ia menatapku yang masih nyerocos ke sana ke mari.
"Tolong Kak, aku awalnya dipaksa temen-temen. Sekarang kalau aku gak ngisep bisa mati karena gila. Oke, deh. Aku janji akan turuti semua kemauan Kakak, asal jangan bawa aku ke kantor sekolahku." Aku terus memohon. Kebetulan posisi sekolahku tak jauh dari kampus Fay.

"Janji?" Mata elang Fay menyipit.

"I-iya."

"Hem, kalau begitu janji jangan mengulangi lagi dan traktir aku tiap makan siang untuk tutup mulut."

Aku menggangguk cepat. Apa ruginya mentraktir semangkuk mie atau bakso seporsi? Yang penting aku aman dan tidak dikeluarkan dari sekolah. Setiap siang aku bertemu Fay. Pria tampan itu menceritakan kondisinya yang pernah sakaw dan membuat orang tuanya meninggal. Dari sana aku benar-benar berhenti secara perlahan seperti yang Fay ajarkan. Begitu juga teman-temanku. Apa yang aku dapat dari Fay aku teruskan pada mereka.

Setiap hari kami semakin dekat, hingga di hari pertama kakiku menjejak di universitas, Fay menyatakan cintanya padaku. Tanpa pikir panjang aku menerima karena memang sudah lama menyimpan perasaan juga untuk Fay.

Kami sempat dimabuk cinta, bahkan aku rela memberikan 'first kiss'ku untuknya.

Jadi dia ke luar negeri karena frustasi dan aku kah penyebabnya?
Tidak, Li! Apa sekarang kamu merasa bersalah? Pria itu bajingan! Tidak ada orang baik yang merenggut kegadisan orang lain dengan paksa!

"Ayok merem, Dek," titah Gus Bed yang sudah memejamkan mata. Bayangan masa lalu buyar seketika. Gus tahu mataku masih berkedip-kedip. Dia belum lelap rupanya.

Aku mana bisa tidur semudah itu, Gus?
Setidaknya pikiran ini harus mengembara dulu, pada kejadian masa depan. Membayangkan saat suami dan keluarganya tahu apa yang menimpaku. Sampai terkadang aku lupa, bahwa yang akan datang itu sifatnya ghaib. Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa menerka-nerka dan memilih keputusan terbaik untuk masa depan yang baik.

"Ya, Bang," jawabku pelan. Kupejamkan mata meski tidak bisa tidur. Wajah Fay muncul lagi dan lagi. Perbuatan busuknya terus berputar dalam ingatan, semakin ingin kulupakan aku justru semakin ingat.

Saking jengkelnya, sampai berpikir kenapa tidak Allah cabut saja nyawa Fay untukku? Astagfirullah ....
'Allahumma musorrifal-quluub, sorrif qulubana 'ala to'atik'
Aamiin.

(Ya Allah, Tuhan yang mengarahkan hati-hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadaMu)

Kubalikkan tubuh ke samping menghadap Gus Bed, melingkarkan tangan ke tubuhnya yang besar. Ia pun berbalik hingga posisi kami berhadapan. Kueratkan pelukan, kunikmati setiap detak jantung dan desah napas hangatnya hingga benar-benar terlelap.

BERSAMBUNG

Hai Kka, part selanjutnya sudah ada di KBM App ya😍

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang