Masa Lalu

956 84 4
                                    

Apa yang sebenarnya terjadi, Gus? Jika kamu punya masa lalu, tak berkenan kah bercerita padaku?

Apa karena masa lalu itu juga Gus Bed bisa menerima semua keburukan di masa laluku sebagai gadis bebas pecandu narkoba? Ya, bisa jadi.

Jujur saja aku sangat penasaran wanita mana yang sempat singgah di hatinya? Apa mereka juga melakukan hal yang aku dan Fay lakukan? Karena jodoh itu adalah cermin. Jika kita tak bisa menjaga diri, maka jodoh kita yang bahkan belum bertemu, juga tidak menjaga diri.

Nyeri. Cemburu. Itu lah dua kata menggambarkan hatiku sekarang. Aku menyesal dulu terlalu bebas dan berpacaran. Aku takut Gus pun berlaku hal yang sama di masa lalu.

Pria yang sudah mengangkut koper-koper dari bagian bagasi itu mendekat. Sedikit pun tak tampak lelah di wajahnya. Kenapa binar selalu menghias wajah tampanmu, Gus? Belum pernah sekali saja terlihat gurat beban di sana.

Yah, aku pasti salah paham. Gusku tidak mungkin seburuk aku.

Kutekan prasangka itu kuat-kuat. Meski nanti ada waktunya aku harus mencari tahu.

Hei, Li!
Benarkah yang kamu tempuh sekarang? Adakah hakmu mencari tahu masa lalu suamimu, sementara kamu sendiri menyimpan masa lalumu rapat-rapat?

'Ah, kamu terlalu picik, Li!'

"Dek, ayuk!" panggil Gus Bed yang membuatku terhenyak. "Kenapa ndak berkedip gitu, terpesona ya sama ketampanan Gus Ubed?" Pria itu tertawa renyah.

"Ah, ya. Hehe." Aku sampai bingung sendiri.

"Ayo, Nduk!" Bude Arina merangkul, membawaku mengikuti langkah Gus Bed ke luar gedung bandara.

Amsterdam adalah kota yang sangat strategis. Betapa tidak, sebagian besar tempat wisata berada dalam jarak yang cukup dekat, sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari pusat kota. Itu alasan Bude Arina percaya diri mengajak kami menghabiskan waktu untuk bulan madu.

Hari sudah malam, pemandangan exotic di malam hari sungguh memanjakan mata. Tadinya Gus akan mengajak kami naik kapal pesiar menyusuri kanal, tapi mengingat aku sedang hamil dan baru saja datang, Bude Arina diminta untuk memesan mobil agar menjemput kami. Agar beristirahat dahulu untuk hari ini.

Sampai di sebuah rumah yang bisa dibilang megah, mobil berhenti. Semua rumah dengan arsitek abad 17 hingga 18 tampak luar biasa. Tak ada rumah yang ditutup dengan gorden. Hingga perabot yang tersusun indah terlihat jelas dari luar rumah.

"Apa mereka tidak risih, kegiatan di dalam rumahnya dilihat orang-orang dari luar rumah?" tanyaku setengah berbisik pada Gus Bed. Pandanganku menyisir gedung-gedung sekitar rumah Bude Arina dari atas dan bawah.

Gus tersenyum mendekatkan mulutnya ke telingaku. Mungkin baginya istrinya seperti orang udik yang takjub dengan pemandangan di depannya.

"Ini adat mereka, Sayang."

"Oya." Aku menyahut cepat. "Astagfirullah." Kepalaku langsung menunduk ketika mataku menangkap sosok laki-laki dan perempuan bercumbu di lantai dua rumahnya. Mata polosku ternodai!

Bude tersenyum geleng-geleng. Begitu pun Gus terkikik melihat reaksiku.

"Ghadul bashar, Sayang!" bisik Gus mengejek. Ah, malu sekali. Aku seperti seorang murid yanv ketahuan ghalil adab oleh gurunya.

"Begitulah mereka, mungkin keinginan untuk memamerkan harta juga bisa menjadi penjelasan. Ketika standar kehidupan meningkat dari waktu ke waktu, bahan dan interior menjadi lebih bagus dan mewah. Dan bahkan sekarang orang-orang suka memamerkan dapur terbuka yang dibuat khusus, sofa yang dibuat oleh desainer khusus, atau TV layar datar model terbaru."

Gus terus bicara sementara Bude Arina pamit mengambil kunci yang dititipkan ke tetangganya.

"Jadi itu alasannya?"

"Hu'um. Alasan lain, tentu saja, adalah keinginan penduduk untuk menyaksikan dunia berlalu begitu saja. Cukup adil untuk mengatakan bahwa orang-orang Belanda biasanya suka melihat ke luar dan melihat lampu-lampu, keramaian dan hiruk pikuk jalanan, dan orang-orang yang lewat."

"Kenapa Abang sangat tahu?"

"Kan Abang pernah sebulan di sini." Gus Bed tersenyum.

Tentu saja waktu selama itu cukup untuk mengenal kebiasaan warga di sekitarnya. Tapi, lamanya waktu yang Gus jalani di Belanda mengingatkanku pada ucapan Fay dulu, sepupunya kabur ke Belanda untuk menenangkan diri. Ck ... rasa penasaranku timbul lagi. Perlukah aku bertanya? Siapa tahu masa lalu Gus hanyalah hal biasa, dan dan dengan begitu hatiku tenang.

Ayo Li, bertanya lah! Perintah itu terasa menekan.

Bersambung

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang