Awal Malapetaka

903 81 4
                                    

"Bed, aku lihat mantanmu sering berkeliaran di pesantren. Apa itu tidak menyakiti hati istrimu?" tanya Kang Fay padaku yang tengah menatap setiap mobil yang datang, untuk disambut.


Pertanyaan itu membuat kepala menoleh seketika. Hingga pandangan kami bertemu.


Tak dipungkiri, sebagai lelaki normal, setiap kali melihat sosok Raudah mengingatkan pada kejadian masa lalu yang kami lalui bersama. Dari sekadar hal manis sampai pahit sekali pun. Itu lah kenapa sebisa mungkin aku menghindar bertemu dengannya. 


Namun, entah kenapa pihak pesantren malah memanggilnya untuk mengajar? Prediksiku, mungkin mereka pikir karena aku sudah menikah, dan kami sudah sama-sama move on terhadap masa lalu.


"Lalu, Kang Fay sendiri? Apa menurut Kang Fay keberadaan njenengan tidak membuatku sakit hati?" Aku bertanya dengan nada datar.


"Haha. Ayolah, laki-laki dan perempuan itu punya porsi berbeda. Perasaan perempuan lebih sensitif, Bed. Lagian kalau aku kan sudah berusaha keras menjauh dari kalian." Kini Kang Fay mengambil gelas mineral dan meneguk isinya.


Aku tersenyum masam mendengar penuturannya. Memang benar sejak pulang dari Belanda pria ini jarang sekali ke pesantren hampir tak pernah malah. Kecuali ada acara-acara besar seperti sekarang. Mungkin Kang Fay ingin menghargai perasaanku.


"Terima lah, Li apa adanya. Jangan biarkan orang lain berpikir ingin membahagiakannya." Ucapan itu kembali meluncur dari mulutnya.


Saat menoleh, ia kembali menatapku. Tersenyum miris. Entah, kenapa ia tiba-tiba bicara seperti itu. "Maksud Kang Fay?"


"Aku memilih legowo, Bed. Asal kamu tahu kepulanganku ke Indonesia adalah demi Liana. Tapi Tuhan sepertinya tidak mengizinkan kami bersatu. Sekeras apa pun aku berusaha. Aku bahkan gagal punya anak ...." Suaranya menggantung.


Dadaku serasa teremas mendengar itu. Apa selama ini dia masih mencintai Liana? Tapi bukankah dia bilang sudah punya pacar dulu.


"Anak?" Tanganku mulai mengepal.


"Iya. Hahha. Tentu saja saat pacaran dulu kami punya cita-cita ingin punya anak yang lucu-lucu. Sialnya sekarang malah dia nikah dan hamil anakmu. Hahaha," ucapnya kemudian yang diikuti tawa renyah.


Asem, Kang Fay. Dia bisa sesantai itu membicarakan istriku. Meski Liana tak ada artinya di depannya setidaknya dia pikir perasaanku.


Tak lama sebuah mobil sport berwarna putih berbelok ke arah parkiran di seberang. Fokus kami pun beralih. Kiai Hanafi ke luar dari sana. Santri-santri yang bertugas di area sekitar menghambur ke arah ulama besar itu. Berebut bersalaman dengan takzim.


Senang melihat santri-santri itu mengamalkan ilmu adab kepada orang alim. Para ulama dan para mujahid memiliki jasa yang besar terhadap agama ini. Mereka yang menjaga agama ini dengan ilmu; belajar dan mengajarkannya sebagaimana para mujahid menjaga agama Islam dengan jihad mereka. Agar dakwah tidak dihalangi dan tidak ada seorang pun yang dizalimi dalam menjalankan agamanya.

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang