"Hamil?" Gus tersentak. Ia memandangku setelah sempat menoleh pada Fay. Detik kemudian, senyum terbentuk di bibirnya.
Gus Bed pasti senang aku hamil. Tapi, apa jadinya jika yang kukandung adalah anak Fay dan dia mengetahui itu?
"Wah, MaasyaAllah. Cepat sekali ...." Tangan kanan Bude memegangi pundakku, sementara tangan lain memegangi perut.
"Tapi kan Adek datang bulan." Gus menimpali kemudian.
"Oh." Wajah Fay meredup. Syukurlah, ucapan Gus menghancurkan dugaannya.
Apa kamu sangat ingin aku hamil anakmu, Fay? Jika iya, kamu sungguh di luar batas.
"Em, ya. Li sedang datang bulan Bude. Hehe." Aku meringis senang.
"Ouh, jadi datang bulan. Kalau begitu mungkin sedang masuk angin kali." Bude berasumsi. "Ya, sudah. Lebih baik kita masuk sekarang. Barusan sudah ada panggilan."
"Ya, Bude." Gus Bed setuju, ia lalu memegangi dua pundakku dan merangkulnya sembil berjalan. Lalu pria itu menyempatkan berpamitan pada Fay.
"Mari Kang, kami pergi dulu."
"Ya." Fay menjawab singkat sembari meraih tangan Gus yang menyalaminya. "Hati-hati."
Kamu sangat perhatian, Gus. Aku terus saja memujinya dalam hati.
"Makasih, Bang." Aku tersenyum tipis mengapresiasinya.
Kami tinggalkan Fay. Ia terpaku melihat kepergian kami, entah berapa lama ia berdiri menatap punggung kami. Karena sedikit pun aku tak melihat ke arahnya.
Sadar lah, Fay apa yang kamu lakukan kelewat kejam!
________________
Baru saja keluar dari pintu bangunan menuju pesawat, angin menerpa tubuh sedemikian kencang. Tak masalah jika pakaianku tertiup ke sana ke mari, karena seluruh tubuhku telah aman. Kaos panjang yang kugunakan hingga lengan sebagai dalaman gamis, juga celana panjang plus kaos kaki. Meski gamis beterbangan, aurat tak akan terlihat oleh orang lain.
Namun, tubuh ini rasanya sedang memberi sinyal lain. Meriang.
"Kamu kedinginan, Sayang." Seseorang di sampingku berbisik lembut. Belum lagi aku menoleh, Gus sudah meletakkan jaketnya menutupi tubuhku.
Aku menyambut dengan tersenyum. Begitu pun Gus. Murah sekali senyumnya.
"Ehem. Kalian manis sekali." Bude Arina berdehem. Aku sampai malu sendiri.
____________
Deru mesin pesawat terdengar. Suaranya berkesinambungan mengisi waktu-waktu yang akan kami lalui nanti.
"Berapa lama perjalanannya?" tanyaku yang duduk di dekat jendela.
Dari sini, kota-kota terlihat seperti kerikil di bawah hamparan awan putih yang luas. Pemandangan indah ini jarang sekali kutemui, karena aku bukan wanita pejalan yang suka traveling ke berbagai daerah, atau pun belahan bumi lain tanpa tujuan urgent.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda +21 (Lengkap)
General FictionJust info : Cerita ini sudah diunlock lebih dari 100K di KBM App. Yang penasaran dengan season dua dan selanjutnya baca di KBM App yuk. 😍😍 ❤❤❤ "Mana bercak darahnya?" Gus Ubaidillah seperti kesurupan membolak-balik selimut yang berantakan karena h...