Entah kenapa suasana ini jadi sangat tak menyenangkan? Ada sesuatu yang terasa ganjal. Abah terlihat aneh. Pria yang biasanya selalu bijaksana kini menampakkan wajah tak sukanya padaku.
"Ingat, Bed! Kamu harus adil!" Suara itu meninggi seiring pintu yang dibanting sebelum kepergiannya.
Aku terhentak kaget.
"Bapak Ubaidillah." Suara seseorang membangunkan. Hanya mimpi rupanya.
Aku tertidur sambil duduk di depan dipan Liana.
Memang tak mungkin Abah memperlihatkan perangai buruk, lebih padaku. Abah juga menyinggung nama Raudah, yang aku sendiri sama sekali tak memikirkannya ke sana. Kecuali, jika selama ini Abah memendam kekesalannya selama bertahun-tahun atas sikapku pada Raudah. Calon mantu yang sering mendapat pujian Umi di hadapan Abah.
Ini sangat mengganggu. Saat aku berusaha menepis pikiran buruk karena ucapan Kang Fay, justru perkara tersebut hadir dalam mimpi. Seolah aku tak boleh meremehkan. Ah, kalau saja kejadian itu benar, takdir pasti tengah bekerja memberiku hukuman karena perbuatan masa lalu.
Tidak! Itu pasti hanya bunga tidur. Kasihan Liana yang tengah lemah dan depresi jika aku membahasnya.
Saat menoleh. Samar terlihat seorang perawat yang tengah tersenyum berdiri menatap. Aku mengerjap hingga semua bayangan tampak jelas.
Di ranjang, Liana juga masih tertidur pulas dengan selang infus yang tersambung ke tubuhnya. Kuhela napas panjang. Wanita yang belum lama melahirkan itu tampak begitu lemah. Mungkin efek obat penenang juga jadi tidurnya setenang sekarang dan belum juga bangun.
"Maaf, Pak saya mengganggu. Bapak harus ke apotik menebus obat dan botol infus untuk Ibu Liana." Perawat bicara dengan sangat sopan.
"Em, ya. Terima kasih." Aku bangkit meraih kertas berisi resep obat yang sudah dituliskan dokter.
Di sini apotik buka satu kali dua puluh empat jam. Karena memang seringkali ada pasien yang datang di waktu-waktu tak terduga. Selain memerlukan tindakan segera dari pihak medis mereka juga butuh obat-obatan.
Sambil menunggu apoteker menyiapkan obat dari resep dokter yang kuserahkan, kulihat jam yang terlilit di tangan kiri. Masih pukul 03.30. Kusempatkan duduk membuka ponsel sebentar. Banyak ucapan selamat dari ustaz-ustaz di pesantren. Dari grup guru, yayasan maupun kontak pribadi.
Juga pertanyaan mereka seputar keadaan Liana. Kapan istriku sudah bisa dikunjungi?
Entahlah, kalau saja tanpa depresi mungkin dia sudah bisa pulang lusa. Namun, karena hal tersebut aku bahkan tak tahu bagaimana menanganinya saat di rumah nanti? Sepertinya kami perlu konsultasi dengan dokter lebih dulu sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda +21 (Lengkap)
General FictionJust info : Cerita ini sudah diunlock lebih dari 100K di KBM App. Yang penasaran dengan season dua dan selanjutnya baca di KBM App yuk. 😍😍 ❤❤❤ "Mana bercak darahnya?" Gus Ubaidillah seperti kesurupan membolak-balik selimut yang berantakan karena h...