Gus Bed

962 85 6
                                    

"Kapan giliran saya?" tanyaku pada PJ acara.

"Setelah ini, Gus. Selesai Mbak Liana Anindita." Lelaki yang membawa kertas di tangan itu menjawab.

"Hem." Aku manggut-manggut. "Memangnya Mbaknya itu siapa?" Penasaran saja karena  bisa sampai diundang di acara sebesar sekarang. Seminar mahasiswa yang melibatkan beberapa kampus sebagai peserta. 

"Beliau dosen di Universitas Islam. Diundang jadi pembicara karena mendapat nilai comelaude saat lulus S1 di sini."

"Waw, S1 jadi dosen?"

"Bukan, beliau sudah S2. Direkomendasikan langsung oleh profesor saya jadi dosen di Universitas Islam."

"Memangnya S2 di mana?" 

"Sastra Arab di Malaysia." 

"Wah jauh." Entah kenapa aku jadi banyak bertanya. Padahal tak ada ketertarikan sedikit pun pada gadis itu, walau tadi sempat berpapasan sebentar. Gadis yang terlihat manis dengan hijab lebarnya. 

Perempuan bernama Liana itu terus bicara di atas podium. Sejak memperkenalkan diri aku sama sekali tak tertarik atau pun peduli hingga dia mengulas sebuah pernyataan.

Seperti ada sesuatu mengusikku ketika pembicara yang berdiri di podium menyampaikan hal urgent di negeri ini. 

"Belakangan Islam memang mengalami kemunduran di negara kita. Ummat yang terjebak dalam sistem demokrasi dan mengenyampingkan aturan Islam. Sehingga berbagai problem muncul dalam segala lini. Bukan hanya ekonomi, sosial tapi juga pendidikan. 

Sebagai orang beriman, tentu sudah selayaknya kita memiliki cita-cita suatu saat mampu mengembalikan peradaban Islam sebagaimana mestinya. Jangan sampai mahasiswa, bagian dari ummat yang memiliki kelebihan dalam intelektualnya berdiam diri tanpa kontribusi. Terus bergerak, turut serta mencari permasalahan mendasar yang membelenggu ummat untuk kemudian bisa menyelesaikannya dengan melakukan perubahan secara revolusioner dan universal, bukan hanya perubahan yang sifatnya parsial," ulas Liana. 

Dia gadis yang cerdas. Bagaimana bisa memikirkan masalah ummat hingga sedalam itu?

"Yakin dia jurusan sastra Arab? Bukan jurusan hukum atau siyasi," tanyaku pada PJ yang duduk di sampingku. Ah, mana ada jurusan seperti itu yang detail membahas hukum Islam?

"Enjeh, Gus."

Aku manggut-manggut. Tak menampik Ubaidillah telah telah tertarik pada seorang wanita lagi setelah sekian lama. Entah, kebetulan atau bagaimana, santriwati kami ada yang kuliah di Universitas tempat Lian mengajar. Dari sana aku mencari tahu banyak tentang gadis itu bahkan bisa naik ke jenjang ta'aruf sampai lamaran.

Tidak ada halangan berarti. Meski aku sempat berpikir apa yang menimpa Raudah dulu menimpa Lian juga. Kubuang jauh-jauh firasat buruk itu, seraya meminta perlindungan pada Allah. 

Akad nikah pun digelar. Kami telah sah jadi suami istri. Dari sana, melihat dengan jarak lebih dekat ... aku sadar istriku bukan hanya seorang wanita cerdas dan sholehah, dia juga sangat cantik.

Dia pemalu, lembut, hangat, dan yang paling penting dia gadis suci. 

Sampai keesokan harinya, saat akan ke asrama putra berkunjung, langkahku terhenti ketika melihat sosok wanita dari masa lalu. Wanita yang bertahun-tahun tak pernah bertemu karena kami sama-sama melarikan diri. Ah, bukan lebih tepatnya aku lah yang lari darinya.

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang