Bercak Darah

2.1K 108 9
                                    

"Yakin, ndak mau dijemput?" Gus Bed bertanya menggoda.

Kenapa sikap pria berkulit putih bersih itu selalu membuatku senyum-senyum begini? Rasanya tubuhku selalu panas ada di dekatnya, padahal AC menyala sepanjang jalan.

Sudah lebih sepuluh menit mobil yang kami tumpangi berhenti di parkiran universitas, tapi aku tidak juga turun. Entahlah, berat sekali perpisahan ini. Padahal cuma mau pisah beberapa jam.

Apa ini alasan Dilan bilang kalau rindu itu berat?

Tapi buatku lebih dari itu, rindu itu sangat teramat berat, lebih untuk kami yang baru halal seperti ini. Kebersamaan yang baru dimulai selepas akad. Sama-sama menjaga diri dari apa pun aktifitas yang mendekati zina. Kami menahan-nahan seperti layaknya tengah berpuasa, begitu berbuka bahagia dan nikmatnya tak terkira.

"Iya, nanti biar Adek naik taksi. Kan Abang katanya mau ikut nyimak pengajian Abah Yai di majlis Kiai Hanafi. Ndak enak kalau belum selesai pulang duluan."

"Ya udah sana turun!" titahnya seperti merajuk. Duh, menggemaskan sekali wajahnya.

"Lah, ini gimana mau turun?" Kumanyunkan bibir menunjuk pada tangannya yang menggenggam tanganku erat.

"Yah, kalau ini ndak bis lepas gimana? Abang lho masih kangen sama Adek."

"Adek juga masih kangen sama Abang. Ndak mau jauh-jauh rasanya." Kuangkat tangannya dan kucium agak lama. Baunya yang selalu wangi. Saat melirik, ia tersenyum. Aku ingin dia tahu bahwa aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya.

"Jadi ndak dilepas tangan Adek?"

Gus Bed meniup berat lalu perlahan melepas tanganku.

Ada rasa kecewa menjalar antara kami. Duh, Gusti kalau saja kami terus bersama-sama selamanya.

Saat memegang gagang pintu mobil dan membukanya, Gus memanggilku.

"Dek."

Seketika aku menoleh. Sebuah ciuman mendarat. Pipiku terasa panas.

"Sudah sana masuk. Sebelum abang berubah pikiran dan bawa Adek pergi," ucapnya padaku yang memaku karena perlakuannya.

Aku pun turun sambil memegangi bibir. Padahal sudah tidak terhitung berapa kali aku mendapatkannya, tapi masih deg-degan aja.

"Assalamualaikum." Gus Bed mengucap sambil memasukkan gigi mobil bersiap untuk pergi.

"Waalaikumsalam," sahutku pelan.

Gus tersenyum melihatku yang masih memegangi bibirku. Lalu mobil bergerak meninggalkan area kampus perlahan.

Kakiku baru bergerak setelah bayangan mobil sport milik Gus Bed benar-benar lenyap dari pandangan.

"Apa ini, Gus? Kenapa aku selalu merinding begini." Aku sampai menggedikkan bahu karena bulu-bulu meremang.

_______

Kedatanganku langsung disambut Om Hadi, adik Ibu yang juga salah satu dosen di sini. Dia lah yang merekomendasikanku dulu untuk mengisi seminar hingga bertemu Gus Bed, dan Om Hadi pula yang merekomendasikanku mengisi kekosongan dosen pada Pak Setto yang menjabat posisi dekan di kampus ini.

"Om dengar ribut-ribut kemarin di resepsimu, Li."

"Iya, Om. Lian juga nggak nyangka," jawabku. Kami berjalan beriringan menuju kantor Pak Setto.

"Hem, tapi hubunganmu dengan Fay baik-baik saja kan?" tanya Om Hadi kemudian. Bagaimana aku akan menjawabnya? Hubungan kami sangat buruk, seperti musuh bebuyutan. Aku sangat membencinya.

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang