Khawarim Almuruah

1K 88 3
                                    

Jari-jariku bergerak mengusap kaca yang basah akibat uap salju, sembari memegang ponsel di sisi tangan lain. Aku tersenyum ketika sebuah nama terukir di sana. 


'Ubaidillah'


Bahkan hanya membaca namanya saja dadaku berdebar.


"Ya, Bu?" Kusapa lagi orang di ujung telepon. Ibu tak pernah lupa bertanya bagaimana kabar anaknya yang berjauhan dari keluarga. Setidaknya dalam seminggu bisa dua kali kami saling sapa lewat seluler.


"Ndak ada yang terjadi kan?"


"Ndak, Bu. Bude Arina sangat baik, Bu. Dia berbeda dengan ...." Ucapanku menggantung, enggan menyebut pria jahat yang notabene adalah darah daging Bude Arina.


"Hari ini kami akan berkeliling Amsterdam," sambungku diikuti tawa kecil bahagia.


"Alhamdulillah, ibu senang. Kamu berhak bahagia, Li. Sebenarnya ibu mau menyampaikan apa yang Om kamu katakan."


"Soal kampus?" 


"Ya. Lebih dari itu. Tapi sepertinya nanti saja. Sekarang gunakan bulan madu kalian untuk bersenang-senang." Ibu menyambung.


Dahiku mengerut. Apa maksud Ibu? Ada masalah kah? Apa aku dipecat dari universitas? Ah, rasanya aku tak punya kesalahan fatal, kecuali kejadian tempo hari, karena ceroboh merusak makalah mahasiswaku.


"Soal apa, Bu?"


"Fay."


Mataku melebar. Apa yang dia rencanakan sebenarnya? "Ef-fa ...." 

Baru saja akan menyeru nama Fay, sepasang lengan kekar memelukku dari belakang. Dengan posisi kepalanya menekan tengkuk.


Aku menoleh, tersenyum.

"Bang," ucapku pelan. Sekaligus memberi isyarat pada orang di ujung telepon agar berhenti membahas pria yang merenggut kesucianku.


"Siapa?" Kini kepala pria itu sudah di letakkan di atas pundakku, bahkan kudengar desah napas hangatnya.


"Ibu." Aku menjawab dengan agak menjauhkan ponsel.


"Emm." Gus Bed manggut-manggut hingga bahuku sedikit berguncang.


"Ya, sudah Li. Ibu tutup dulu teleponnya, jaga kesehatan," pamit Ibu.


"Bu!" seruku sebelum telepon ditutup.


Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang