Ini hanya soal waktu Ibu. Semua akan terbongkar seiring berjalannya waktu yang kulalui bersama kekasihku. Jika saja hari itu aku memilihi jujur, perasaanku mungkin belum sebesar sekarang pada Gus Ubaidillah. Hingga rasa sakit kehilangannya tidak akan membuat terluka lebih dalam.
Namun, semua sudah terjadi. Masa lalu tak bisa diubah meski kita memilihnya sekali pun. Aku tak bisa menyalahkan Ibu. Sebab, wanita yang melahirkan dan membesarkanku hanya menginginkan kebaikan untuk putrinya.
Bukan hanya perut mual, kepala juga terasa sedikit berputar. Ada apa ini? Perasaan datang bulan yang kujalani selama ini tidak semenyakitkan sekarang.
"Adek ndak papa? Masuk angin mungkin," ucapnya cemas. Tangan kiri Gus bergerak memegang pundakku lalu beralih mematikan AC dan membuka kaca mobil sedikit, memberi ruang oksigen untuk masuk.
Aku mengangguk sambil menutup mulut karena mual.
"Iya, akhir-akhir ini kita sering begadang malam." Ucapan itu mengingatkan bahwa aktivitas malam kami memang menyita banyak energi.
"Lembur, ya?" Aku sedikit terkikik. Tak ingin ia khawatir dan memikirkan banyak hal.
Baru dua minggu, masa iya sudah hamil? Apalagi kalau Gus tahu diam-diam aku memasukkan obat pencegah kehamilan di tubuhku.
"Hiss. Malah ketawa."
"Adek ndak papa, Bang. Nanti juga sembuh. Kayaknya adek datang bulan beneran jadi ... begadangnya diliburkan dulu."
"Masa? Abang kira karena robekan segel kegadisan." Ia tersenyum. Wajahnya selalu terlihat senang setiap kali membahas bahwa dirinya berhasil menjebol dinding milik istrinya.
Ya Rabb, dia masih berpikir tentang itu. Maaf Bang, jika ternyata yang kamu harapkan dan kenayatannya berbeda.
Mobil terus melaju. Kami punya waktu sekitar satu jam untuk cek in tiket di bandara. Gus memberiku kesempatan mampir sebentar di apotik, kubeli minyak angin, habbatusauda untuk persediaan, juga tes pack.
Tadinya ingin ke toilet untuk cek urine. Tapi, setelah dipikir aku ingat katanya hasil akan akurat ketika bangun tidur. Okelah, besok saja sekalian pas sudah tenang di Belanda.
Begitu kembali ke seberang jalan di mana mobil berada, Gus menanyakan air mineral.
"Yah, ndak beli, Bang. Emang habis di mobil?"
"Iya, abang juga lupa bilang, Sayang. Ya sudah, masuk deh. Beli di bandara saja.
Sampai di Bandara, Bude Arina sudah duduk manis dengan Fay. Hei, apa ini? Kenapa ada Fay? Bukannya Gus Bed bilang kami hanya akan berangkat bertiga? Jangan sampai aku mual di depan Fay dan mengira aku hamil anaknya.
"Alhamdulillah, datang juga. Ayo cepat, waktu kita ndak banyak." Bude Arina berdiri menyambut kami kami. Begitu juga Fay yang masih bersikap seolah tidak ada apa-apa antara kami.
Itu bagus menurutku tapi juga membuatku muak. Kenapa setelah tahu aku istri Gus Bed dia tidak menjauh, tapi malah terus berkeliaran di sekitar kami seolah ada yang diincar.
Ya, dia yang harusnya menjauh dari semua orang yang mengenalku dan Gus Bed. Karena aku tidak mungkin berpisah dengan suami dan keluarganya. Apa maumu Fay?
"Ah apa kita akan berangkat berempat?" Aku menoleh pada Gus Bed yang ada di sampingku.
"Nggak, Sayang. Kang Rifay hanya mengantar Bude."
Fay manggut-manggut, sedang Bude Arina tersenyum. Wanita itu senang akhirnya kami ikut ke Belanda.
"Ouh." Aku menyahut singkat.
"Ayo, Dek. Kita cek in dulu." Gus menitipkan dua koper kami pada Fay dan ibunya, sebelum kami meninggalkan mereka berdua.
__________
"Ah, selesai juga." Gus mengambil posisi duduk di sampingku. Yang tak jauh dari Fay juga ibunya.
"Oya, bentar sayang. Abang beli air mineral dulu."
"E'em." Aku mengangguk.
Namun, tanpa kusadari Bude Arina juga berpamitan ke toilet.
Saat menoleh Fay sudah menatapku dengan hanya berjarak sekitar satu meter. Takut terjadi yang tak kuinginkan, aku bangkit dn berniat menyusul Gus.Ya Tuhan, aku bukan hanya membenci Fay, tapi juga takut padanya.
"Tetaplah duduk dan tenang, Li. Atau aku akan berteriak pada semua orang di sini bahwa aku telah menidurimu sebelum Ubed." Ucapannya pelan dan menekan.
Akhirnya, ia menunjukkan kemauannya.
Aku yang menunduk dengan posisi setengah berdiri, sontak menoleh kepadanya. Pria brengsek itu bisa sesantai sekarang bicara padaku. Tak adakah rasa bersalah atau sesal di hatinya?
"Kamu tidak memberiku kesempatan bicara, Li. Nomorku di blokir. Dan aku hanya bisa menahan diri melihatmu dari kejauhan." Kali ini dia menyalahkanku. Dasar pria tak tahu diri!
"Setiap hari, setiap detiknya aku ingat padamu Li. Setidaknya dengan aku berubah kamu bisa menerimaku. Aku bahkan sekarang seorang dosen, meski tak sehebat kamu." Fay terus bicara, seolah aku adalah miliknya sekarang.
Ya, kenyataannya aku tak bisa berbuat apapun. Aku terlalu pengecut dan takut pada ancamannya.
"Tapi ... kamu bisa bayangkan. Setelah sekuat tenaga sembuh dari frustasi, memulai kehidupan baru dengan berjuang keras masuk ke universitas. Begitu aku pulang dan akan mengatakannya padamu, tiba-tiba kudengar kabar dari teman kita, bahwa kamu akan menikah."
Aku hanya memandanginya dengan mata memanas. Menahan setiap rasa sakit yang ia torehkan padaku. Apakah dia juga akan menyalahkanku atas perbuatannya menghancurkan harga diriku?
"Aku-aku terlalu merindukanmu, Li ...."
Jebol juga genangan air di pelupuk mata, ia mengalir membasahi pipi hingga pandanganku berkabut.
"Bajingan!" Suaraku menekan, tercekat di kerongkongan.Seperti ada lahar besar yang menyembur ke luar setelah kutahan-tahan.
"Ap-apa?"
"Loh, kenapa, Nduk Li?" tanya Bude Arina yang baru datang dan langsung duduk di sampingku, menjadi jarak antara aku dan Fay.
Buru-buru kuseka air mata. Tidak ingin Bude Arina curiga, juga agar Gus tak sempat melihatku yang menangis.
Benar saja, menit kemudian suami yang menjadi penenang hati datang dengan beberapa botol mineral dalam plastik.
"Ada apa, kok suasananya sepi begini?" Gus Bed seperti menangkap keanehan antara kami.
Duh, jangan sampai deh dia berpikir macam-macam. Semua ini karena Fay yang mengancamku, hingga aku tak bisa menyusulnya.
Bude Arina melirik curiga pada Fay. Jangan-jangan perempuan itu mendengar sebagian percakapan kami.
"Wah kamu kelihatan lelah, Dek." Disodorkan satu air mineral untukku oleh Gus. Mungkin karena baru menangis tadi jadi wajahku terlihat kusut.
"Adek ndak papa, Bang."
"Sini, biar abang bukain." Pria itu mengambil lagi botolnya saat melihatku kesulitan membuka.
Lihat lah, Fay! Pria yang kamu hancurkan istrinya adalah pria sebaik dan selembut Gus Bed. Tidak bisa kah merasa menyesal dan menjauh dari kami.
Kuraih botol mineral yang sudah Gus bukakan tutupnya. Tapi, baru akan memasukkan ke mulut aku kembali ....
"Huek."Ya Allah, sedari tadi kutahan-tahan akhirnya mual lagi begitu mencium bau yang berasal dari kemasan minuman tersebut.
"Hem? Apa dia hamil?" Fay terlihat antusias ketika melihatku mual.
BERSAMBUNG
Versi BAB lengkap di KBM App ya😍
Udah BAB 19 lho. Kakak udah subcribe belum?
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda +21 (Lengkap)
General FictionJust info : Cerita ini sudah diunlock lebih dari 100K di KBM App. Yang penasaran dengan season dua dan selanjutnya baca di KBM App yuk. 😍😍 ❤❤❤ "Mana bercak darahnya?" Gus Ubaidillah seperti kesurupan membolak-balik selimut yang berantakan karena h...