Kerancuan Nasab

1.1K 98 7
                                    

Ya Rabb ... bagaimana hamba akan menghadapi rasa bersalah yang makin besar ini? 

Apalagi yang bisa kulakukan sekarang  selain memohon belas kasihMu, meratap atas banyaknya kesalahan dan dosa yang membuatMu murka ....

Tak ada yang bisa kulakukan  selain  menangis. Air mata yang terus saja luruh tanpa bisa kubendung barang setetes. 

Bagaimana jika ini adalah anak Fay? 


Apa yang akan kukatakan pada Gus Bed saat  ia tahu anak dalam kandunganku bukan anaknya?


Bagaimana juga caraku menghadapi Fay?  Aku yakin dia tak akan tinggal diam begitu tahu aku tengah hamil anaknya.

"Mau kakak bikinin anak berapa, Li?" tanya Fay yang hari itu memelukku dalam posisi duduk. 

Aku yang duduk di pangkuannya, menelengkan kepala menggodanya. "Yang banyak ... sampai rumah kita penuh  dengan anak-anak."

Kami duduk di bawah pohon rindang di pagar belakang kampus. Tempat yang biasa kugunakan 'ngisep' narkoba dengan teman-temanku kini jadi tempat favorit kami menghabiskan waktu bersama.

"Banyak? Emang sanggup ngelahirinnya? Kakak aja yang laki-laki gak tega minta anak banyak sama kamu. Kamu pasti akan kesakitan saat hamil,  melahirkan belum lagi nyusui dan membesarkan tapi apa boleh buat ... kakak sangat ingin punya anak dari kamu, Li."

"Oyah, baik banget sih, calon bapak dari anak-anakku." Aku menoleh menarik hidungnya yang mancung. 

Dia mengaduh, tapi aku malah tertawa tak peduli ia padanya yang merasa sakit. 

"Ih, nakal, ya." Tak terima,  Fay menggelitiku. Aku tertawa kegelian sampai posisi duduk kami berhadapan.

Aku terus tertawa hingga terdiam saat ia mengucap sesuatu.

"Sini, kakak bikinin anak!"

Mataku melebar, terkejut dengan ucapan pria di depanku. Fay memandang dengan tatapan entah ... tanpa permisi ia mendaratkan ciuman. Aku terpejam diam agak lama. Hingga kusadari tangannya sudah memegang bagian yang harusnya tak boleh disentuh siapa pun. 

Ah, bahkan harusnya pacaran pun tak boleh, aku menyesal kenapa mengenal Islam jauh hari  setelah mengenal Fay?

Kudorong tubuhnya menjauh. "Kak. Cukup."

Kata-kata itu pelan, tapi cukup membuat Fay terhentak. Ia kembali memegang pundakku dan menciumku lagi. Tapi aku masih sadar, sedikit saja aku lengah aku akan kehilangan masa depanku. Kudorong dengan kekuatan lebih, aku berlari sebelum akhirnya ia tak sempat mengejarku lagi.

Di lain waktu, Fay minta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Hingga aku berani bertemu dengannya di pagar belakang universitas lagi.


Baru saja kami duduk, dan berbaikan kejadian muncul lagi. Kejadian yang menciptakan jarak antara kami. 

"Maaf, ya."

"Em. Ya. Jangan diulangi lagi." Aku mengucap canggung.

"Ya." Lelaki itu tersenyum. Lalu msngacak rambutku, hingga aku merasa kembali aman dan tertawa.

Baru saja menghabiskan waktu beberapa menit, perhatian kami dialihkan oleh suara aneh. Sungguh nahas, saat kami menoleh sepasang muda-mudi yang bergelar mahasiswa itu berbuat mesum. Aku dan Fay jadi canggung.

Tanpa pikir panjang aku bangkit dan pergi, yang kemudian diikuti Fay di belakang. Sejak hari itu aku takut. 

Aku takut terlalu dekat dengan Fay. 

Awalnya pikiran polosku mengatakan, bahwa pacaran itu paling banter sebatas ciuman. Tapi, nyatanya laki-laki normal punya nafsu lebih dari sekadar ciuman.

Tangisku makin menjadi ketika bayangan Fay berkelebat, menari dalam ingatan.

Aku terhenyak saat seseorang mengetuk pintu toilet.


"Dek. Masih di dalam. Kok lama? Adek ndak papa kan? Dek ...." Suara Gus terdengar pelan. Ia pasti ingin memastikan bahwa benar istrinya yang ada di dalam sini.

Kulihat benda melingkar di tangan. Sudah lebih setengah jam. Entah, berapa toilet yang Gus Bed ketuk untuk mencariku?

Aku segera berdiri menyahut panggilannya. 


"Ya, Bang!"

Buru-buru kubasuh wajah dengan air dari kran. Menepuk-nepuk wajah yang bayangannya terlihat hampir bengkak dalam cermin. 

"Lho, Dek. Kamu kenapa?" Dua tangan Gus Bed menangkup wajahku.

Aku menggeleng. Menahan tangis tak berani menatap matanya.

"Hei, lihat sini. Adek kenapa?" Gus sedikit menunduk, memaksaku agar menatapnya.

Aku melihat ke atas agar air mata tak jatuh. Namun, sia-sia. Air mataku deras ke luar. Aku bahkan terisak. Cobaan ini begitu berat untuk kupikul sendiri.

Gus Bed makin bingung. Kini ia melihat sesuatu tergenggam dalam tanganku. Oh, Ya Tuhan tak sadar aku mengambil tespack yang sudah kuletakkan sebelum ke luar. Kenapa aku seceroboh ini. Kueratkan genggaman. Aku takut Gus melihatnya dan menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku makin dihantui rasa bersalah. 

Perlahan diambilnya benda yang memperlihatkan dua garis warna merah tersebut. Mata priaku melebar.


"Ap-apa Adek beneran hamil?" tanyanya tak percaya.

"Maafin adek, Bang."

"Kenapa minta maaf?" Gus Bed bertanya heran.

"Adek takut." Dari mana aku memulainya? Semakin kupendam rasa bersalah ini semakin menggunung. Menunda bicara juga akan membuat Gus Bed makin murka. Tapi aku juga takut. Aku sangat takut kehilangannya.

"Takut?"

"Ya, adek takut."

Gus Bed, tersenyum. "Jangan takut, Sayang. Ada abang di sini. InsyaAllah abang akan jadi suami siaga buat Adek dan anak kita."

"Tapi ini bukan soal itu, Bang. Ini soal lain."

"Soal lain? Soal apa?"

Kutatap dua manik mata yang bergerak-gerak itu. Lelaki yang baru dua minggu menghalalkanku, menjagaku dan membuktikan betapa besar cintanya padaku. Sekarang kah saatnya kukatakan, bahwa anak ini belum tentu anaknya. Sebelum terjadi kerancuan nasab dan masalah besar di kemudian hari.

BERSAMBUNG

Huhu, Li harus gimana Gaes? Sampai kapan dia sanggup menahan rasa bersalah yang makin hari makin besar....


Jangan lupa tinggalkan koment dan jejak. InsyaAllah besok kita gasspollll....😍


Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang