Akhirnya Aku Harus Jujur

1K 88 3
                                    

"Mau tambah?" Fay bertanya, tangannya memangku kepala di atas meja.

Aku menggeleng. 


"Udah kenyang Kakak Sayang."

"Masa makan dikit udah kenyang?"

"Ini semangkok lho, bakso pula. Ish ... kasian perut nih, terlalu berat makannya." Kuputar tangan mengusap perut, memperlihatkan pada Fay betapa kenyangnya aku.

"Biasanya aku gak pernah lho nyiksa perut gini. Demi Kakak, kujadwal makan beginian," sambungku lagi sambil menyeruput air putih hangat dalam gelas.

"Emang biasa makan apa?"

"Yang sehat lah, sayur, buah ...."

"Cokelat." Fay menyela, sambil memiringkan senyum. "Percuma makan sehat kalau doyan ngemil cokelat." Tangannya mengaduk-ngaduk es teh dalam gelas.

"Kan ngemilnya gak terus-terusan," bantahku.  "Serius, deh. Aku punya pencernaan sensitif. Pernah dulu tiap hari makan bakmie saking doyannya, dapat seminggu langsung drop. Abah sama Ibu sampe bingung. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan opname. Katanya lambungku radang. Sejak saat itu, tiap pagi aku cuma makan umbi-umbian sama jus."

"Wah, pantes kamu jarang sakit." Tangan Fay menyeberang dengan tubuh sedikit membungkuk, mengacak rambutku hingga berantakan.

"Pelan-pelan donk," protesku mengerucutkan bibir, sambil membenahi rambut.

Siapa sangka apa yang kulakukan diikuti Fay saat di rumahnya bersama sang mama. Dia begitu bersemangat membicarakanku, meski aku tak ada di sampingnya. Bukan hanya pada Bude Arina, dulu teman-temanku juga sering lapor bahwa Fay senang membicarakanku.

Entah, apakah ini pertanda buruk ke depan karena ternyata dia memiliki perasaan yang serius?

"Apa? Li dan Kang Fay teman dekat?" Suara bass itu menyela ucapan Bude Arina.

Tubuh refleks berbalik kaget mendengar suara Gus Bed. Mataku melebar. Begitu pun Gus yang wajahnya tampak syok.

Ya Rabb ... hamba pasrah apa pun keputusanMu.

"Ubed, kok bude ndak denger kamu masuk, Le?" Jelas sekali Bude Arina berusaha untuk tampak tenang.

"Em, Ubed sudah salam tadi. Ya, walau pelan, karena tidak ingin merepotkan kalian."

Itu karena rumah Bude Arina yang besar, tentu saja tidak terdengar saat Gus datang. Meski ia mengucap salam sekali pun.

Bude Arina manggut-manggut. "Duduk lah dulu!" titahnya sembari tersenyum.

Gus meletakkan tubuh di atas kursi seraya melirik padaku. Seiring bau wangi yang menguar tajam dari tubuh yang menghangatkan malam-malamku. Aku menelan saliva, tenggorokan mendadak terasa kering. Baru ini kudapatkan tatapan curiga itu dari suami.

"Apa Adek menyembunyikan sesuatu dari Abang?" tanya Gus pelan dengan nada menyelidik.

Ya Allah seperti apakah ekspresiku sekarang? Pucat kah?

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang