Tak ada yang tahu Ubed pergi dengan terpaksa. Bahkan dalam langkahnya wajah Liana memenuhi pandangan. Putaran ingatan dari sejak ia mengenalnya, taaruf, menikah, lalu melewati hari-hari bak candu yang membawanya melayang ke langit ke tujuh.
Namun, semua rasa manis itu sekarang berubah jadi pahit racun yang akan membunuhnya. Senyum Liana yang tergambar di kepala seperti pisau yang merobek-robek akal. Ia tak mampu lagi berpikir selain menurutkan kemarahan.
Bahkan untuk mendengar bagaimana kejadian itu berlangsung pun Ubed tak mampu.
Selama ini cintanya untuk Liana sudah tertancap kuat-kuat. Maka ketika tercabut, rasa sakitnya tak terperi.Sama halnya wanita yang hanya bisa duduk pasrah di atas ranjang pesakitannya. Seseorang telah pergi menunjukkan punggungnya pada Liana. Ia berjalan dengan kerikil yang memenuhi hati. Hatinya sendiri hancur. Mungkin kah ia akan lagi dapati senyum tulus dari sang suami?
Padahal ... dia bukan tak setia apalagi dengan sengaja berbuat dosa ....
Kalau saja sekarang tubuhnya tidak lemah dan nyeri karena proses melahirkan, Liana pasti mengejar sang suami. Menjelaskan kebenerannya, lalu bersujud hingga ia mendapat pengampunan.
'Kenapa sekarang? Kenapa dalam keadaan aku tak bisa berbuat apa-apa semuanya terbongkar? Habis sudah.'
"Kenapa kamu tak membunuhku saja, Gus," isak Liana, yang sontak membuat ibunya menoleh.
Hati wanita tua itu juga tak kalah nyeri. Menyaksikan secara langsung bagaimana putrinya ditinggal suami yang dicintai. Ini lah takdir, sekuat apa pun mencoba menghindar, manusia akan bertemu takdirnya jika sampai waktu yang Allah kehendaki.
Cinta buat Liana adalah ketika ia mengingat, menatap kekasihnya pergi dan melihat bayangan saat ia rindu. Bahkan belum lama Ubed lenyap dari hadapan. Hatinya sangat menginginkan keajaiban, hingga pria itu kembali dan memeluknya.
Liana tak tahu bagaimana ia akan mengatasi kerinduannya nanti?
Kini ia sadar, kebohongan itu seperti bensin. Tak mungkin sembunyi lama, dan akan meledak ketika bertemu apinya.
'Aku membencimu, Fay!' Liana mengusap kasar air matanya.
Meski ia cinta pertama untuk Fay, dan terakhir baginya. Bukan kah cinta semacam itu terlalu clise untuk mendefinisikan sebuah hubungan? Hingga merusak semua jika diturutkan.
???
"Assalamualaikum, Gus," sapa seorang santri ketika Ubed ke luar dari mobil dan melewatinya.
Namun, karena suasana hati yang tengah kacau, pria itu tidak fokus pada sekitar dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Santri tersebut mengerutkan kening, guru yang selalu ramah dan hangat tiba-tiba tak peduli.Pun saat sampai di dalam rumah, Ubed mengucap salam pelan lalu masuk begitu saja. Melewati Umi Aisyah, Aishwa, Raudah dan seorang santri yang tengah bicara di ruang tengah.
"Waalaikumussalam." Empat perempuan itu menjawab, ada yang dengan lantang dan ada yang sekadar menggumam. Lantaran tahu jika satu bersuara, maka sudah gugur kewajiban menjawabnya bagi yang lain.
Ubed berjalan lurus, tidak menyapa lalu masuk kamar dan menguncinya.
Mereka saling tatap, bingung melihat sikap anak bungsu Kiai Abdullah. Pasalnya, Ubed baru saja pulang dan kembali ke rumah sakit, tapi kini sudah kembali lagi ke rumah dengan wajah tertekuk. Lagipula pria itu bukan tipe manusia yang mengenyampingkan adab saat melewati orang lain.
"Apa ada masalah, Mi?" tanya Aishwa. Sang umi hanya menggedikkan bahu tak tahu. Menurutnya ini sangat aneh. Kondisi sekarang setidaknya mengharuskan Ubed stay di sisi sang istri.
Raudah sendiri bertanya-tannya. Bukan kah seharusnya Ning Liana perlu ditemani dan banyak hal yang diurus, kenapa malah Gus Bed pulang? Namun, sebagai seseorang yang bukan siapa-siapa dari keluarga Kiai Abdullah, ia tak berani berkomentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda +21 (Lengkap)
General FictionJust info : Cerita ini sudah diunlock lebih dari 100K di KBM App. Yang penasaran dengan season dua dan selanjutnya baca di KBM App yuk. 😍😍 ❤❤❤ "Mana bercak darahnya?" Gus Ubaidillah seperti kesurupan membolak-balik selimut yang berantakan karena h...