Kepribadian Fay

956 82 5
                                    

"Memangnya kalau kakak ikut, Li mau kasih apa?" godaku pada gadis cantik di ujung telepon, yang akhir-akhir ini selalu bersikap manja.

"Em, apa ya ....? Kakak mau apa? Bakso?"

"Gak lah. Bosen. Mau yang lebih dari itu ...."

"Apa ya? Semuanya udah aku kasih ke Kakak lho. Sampe bingung mau kasih apa lagi?" 

"Masa? Kakak ngerasa belum semua, deh. Kakak maunya yang lebih lho."

"Hem. Mulai deh .... tolong dikondisikan ya pikirannya. Tidak ada kemesuman di antara kita." Li seolah tahu apa yang kupikirkan. 

Ini gara-gara Doddy yang manas-manasin tempo hari. 


"Cewek ... sebelum lo tiduri, dia bakal campakkan lo setelah dapat pria yang lebih baik!" ucapnya meremehkan. Pemuda itu jauh lebih muda dariku, tapi otaknya ngeres luar biasa. Gara-gara itu aku jadi sering iseng godain Li untuk diajak ML.

"Ya, udah. Pokoknya ikut aja. Hang out kali ini bakalan seru, karena Liana Anindita yang jadi peje-nya."

"Yah, okelah apa sih yang nggak buat Li."

"Janji?!"

"Ish kayaknya gak bisa banget ya jauh-jauh dari kakak."

"Yeee si kakak besar kepala, tau aja yang di pikiranku."

"Haha. Ya, Sayang. Kakak lagi di rumah paklek. Ada acara di sini. Kamu jangan lupa makan, dan gak boleh ketemuan sama Shinta. Okey?"


Sengaja kupesankan hal tersebut, karena akhir-akhir ini Shinta sering ngompiorin Li yang nggak-nggak. Itu sangat mengganggu rencana yang kubuat agar Li tetap ada di pelukanku.

"Kang." Suara Ubed mengagetkan.

"Ya!" responku cepat. Aku memang bukan pemuda baik, tapi jasa keluarga Paklek Abdullah sangat banyak pada kami. 

Sudah cukup Mama melihat banyaknya permasalahan yang kubuat dalam hidupnya. Setidaknya aku harus bersikap jadi anak baik di hadapan keluarga Kiai itu, termasuk di depan Ubed. Lagipula aku sudah kehilangan Papa, takut jika perbuatan burukku bisa merenggut nyawa wanita yang melahirkanku juga.

Melihat sosok pria berbaju koko rapi dengan sorban terkalung di leher, aku segera berpamitan pada Li untuk menutup telepon. Ubed selalu terlihat tampan, yah walau kenyataanya tak setampan aku.

"Bisa minta tolong?" Wajah Ubed terlihat cemas. 

Tak pikir panjang kuiyakan permintaannya untuk diantar ke rumah sakit di mana seseorang sedang dirawat. 

Katanya mereka tidak mungkin berkholwat dalam kamar rumah sakit. Lantaran orang tua gadis itu masih dalam perjalanan dari kampung. Mungkin malam baru sampai.

Aku seperti disindir. Sudah tak terhitung berapa kali berkhalwat dengan Li seolah tak ada batas antara kami. Semenjemukan itu kah hidup Ubed? Sangat menjaga pergaulannya.

Di dalam mobil Ubed gelisah. Sedang aku yang tengah menyetir, menelepon Li karena tak bisa menjemputnya sore ini.

"Iya, kamu hati-hati, Sayang. Ada urusan mendesak dengan sepupu Kakak," ucapku pada gadis di ujung telepon. 

Noda +21 (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang