25 - Jauh

146 31 15
                                    

Oktober, 2015

Sejak dulu, Kira selalu mengikuti kata hatinya sendiri sebelum ia memutuskan untuk mengambil pilihan yang tepat. Jika firasatnya tak yakin, maka Kira akan menolak untuk mengambil pilihan itu. Awalnya Kira hanya merasa itu hanya firasat sesaat saja. Tapi hal itu terus terjadi hingga lebih dari dua kali. Sejak saat itu, Kira memutuskan untuk selalu mengikuti kata hatinya.

Namun semenjak mengenal Handaru, entah sudah berapa kali Kira berhenti mengikuti kata hatinya dan lebih memilih untuk percaya kepada Handaru dan berpikir bahwa firasatnya bisa saja salah. Tapi sekali lagi, Kira ditunjukkan untuk tetap mengikuti kata hatinya. Lagi.

Sebenarnya sejak dulu—sejak Kira bertanya tentang hubungannya dan Handaru untuk pertama kalinya, Kira sudah memiliki firasat yang buruk. Ia berpikir bahwa alasan terbesar Handaru tidak bisa mengatakan isi hatinya adalah seseorang yang hadir di masa lalu Handaru.

Kalau dipikir-pikir, Kira sama sekali tidak pernah mendengar Handaru bercerita tentang dirinya semasa sekolah. Kira hanya mengetahui apapun cerita Handaru sejak ia kuliah dari semester satu hingga akhir semesternya. Entah kenapa, Kira juga tidak ingin bertanya banyak—walau dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin mendengar kisah itu. Ingin mengenal Handaru lebih dalam lagi.

Tapi tetap saja, seberapa besar usaha Kira memancing lelaki itu bercerita, ia tetap tidak tertarik untuk menceritakan masa sekolahnya.

Jika saja saat itu Kira mengikuti kata hatinya, tidak diluluhkan dengan seberapa besar rasa sayangnya kepada Handaru, apakah ia tidak akan bertemu dengan malam ini? Malam dimana ia menyadari, untuk selalu mengikuti kata hati?

"Gimana? Diangkat?"

Dion menggelengkan kepalanya untuk menanggapi pertanyaan Wuren. Ia berdecak kesal dan menatap handphonenya. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi Handaru setelah melihat isi pesan Handaru kepada Kira. Tapi hasilnya nihil, nomor Handaru sudah tidak bisa lagi dihubungi.

Wuren ikut berdecak dan bermaksud untuk mencoba menghubungi Handaru lagi ketika Kira yang sejak tadi diam di kursi belajarnya akhirnya bangkit berdiri, membuat teman-temannya menoleh ke arahnya.

"Udahlah..." kata Kira pelan, namun cukup kuat untuk dapat didengar oleh Dion, Wuren, dan Nika yang berada di kamarnya. "Enggak usah. Enggak apa. Besok lagi aja."

"Kir—"

Kira menggeleng, mengangkat tangan kirinya dan menghentikan Dion yang hendak berbicara. "Gue capek. Gue mau tidur."

Baik Dion, Wuren, dan Nika bergeming selama beberapa detik sampai Nika yang akhirnya menghembuskan napas berat, menyudahi kesenyapan itu.

"Yuk Yon, Ren, kita pulang aja." sahut Nika dan berjalan keluar dari kamar Kira.

"Tapi—"

"Yon," ujar Wuren. "It's okay. She wants to be alone."

Dion memperhatikan punggung Kira yang membelakangi mereka. Perempuan itu terlihat menyusun meja belajar dan mematikan laptopnya tanpa suara.

"Kita pulang ya, Kir? Besok gue jemput." ujar Wuren yang tidak ditanggapi oleh Kira.

Nika sudah lebih dulu meninggalkan kamar Kira. Wuren kemudian menarik tangan Dion—yang terlihat sangat enggan untuk meninggalkan Kira sekarang. Sendirian. Dion tahu, walaupun Kira sedang ingin sendirian—bukan berarti ia benar-benar ingin sendirian.

Wuren kemudian menghela napasnya, membiarkan Dion tinggal sedikit lebih lama di sana. "Gue tunggu di mobil."

Sekarang, hanya tertinggal Dion di sana. Dion mengepalkan tangannya kuat-kuat. Jika isi pesan yang Handaru tinggalkan seperti yang sedang ia pikirkan sekarang, maka Dion tidak akan segan-segan untuk membenci Handaru—hingga Handaru kembali dan menjelaskan semuanya kepada Kira.

TentangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang