Selama ini Riyan tahu. Ia tahu dan paham betul jika Dion—sahabat mantan kekasihnya itu menyimpan perasaan lebih dari seorang teman terhadap Kira. Mungkin semua orang tahu bagaimana sulitnya Dion berpura-pura menyayangi Kira tulus sebagai seorang sahabat di depan orang-orang.
Yang Dion tidak tahu, ketulusan dan pengorbanan yang ia berikan kepada Kira tidak akan cukup untuk menutupi perasaannya itu. Justru hal itulah yang membuat orang-orang semakin sadar, bahwa di mata Dion Carvalo, ia hanya akan melihat seorang Talitha Kirana Aurelia. Termasuk Riyan.
"Iya. Gue suka sama Kirana, Bang."
Riyan tidak terkejut mendengar itu. Selama ini—terutama setelah ia berpisah dengan Kira, Riyan kerap kali menduga tentang hal itu. Walau Riyan tidak banyak bicara, tetapi ia tahu. Ia tahu selalu ada yang beda setiap kali Dion menatap Kira atau bahkan memberikan perhatian yang menurutnya berlebihan.
Dan anehnya, Riyan tidak marah.
Riyan mengangkat kepalanya, menatap lampu-lampu Underground di atasnya sembari menyunggingkan senyum tipis. Mendengar pengakuan itu secara langsung dari Dion malah membuatnya merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan secara langsung. Riyan merasa kosong, tetapi tidak hampa. Kekosongan itu membuatnya sedikit lega.
"Gue udah lama duga," Riyan menyudahi keheningan di antara mereka. Jemarinya menggoyangkan gelas yang sudah minim isinya itu. "Mungkin semua orang udah tahu, Yon. Tapi berpura-pura enggak tahu, kayak yang lo lakukan."
Dion menguatkan genggamannya pada gelas miliknya. Ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa selain menutup mulutnya rapat. Membiarkan lagu yang diputar di Underground itu mendominasi suasana di sekitarnya, sehingga ia tidak perlu terlalu mendengarkan ucapan Riyan.
"But I'm glad if she ends with you, Yon." ujar Riyan. "At least, you won't make her cry like me and Handaru did."
"Is it okay for you?"
Riyan menolehkan kepala ketika akhirnya Dion bersuara setelah memutuskan untuk bungkam. Dion melepaskan gelasnya dan menatap Riyan nanar. Dari sorot matanya, Riyan dapat melihat kesedihan, takut, dan rasa bersalah yang bercampur menjadi satu.
"Gue... Mixed feelings, Yon." balas Riyan.
Dion segera mengalihkan pandangannya. Seketika kepalanya sakit. Apa yang selama satu minggu ini ia pikirkan terjadi sudah.
Sejak malam di mana Dion memutuskan untuk minum sendirian dan berakhir meracau di depan Handaru dan Wuren, Dion selalu berusaha untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi malam itu. Setelah pengakuannya didengar oleh kedua orang itu, keesokan harinya menjadi kacau untuk Dion.
Padahal tidak ada yang memberikan komentar. Tidak ada pula yang menghakiminya. Hanya saja, Dion merasa ia sudah membohongi Handaru dan juga Riyan—yang selama ini selalu ia dukung sepenuh hati ketika mereka menjalin hubungan dengan Kira. Walau keduanya tidak ada yang berhasil dengan baik.
Baik Riyan dan Dion sama-sama larut dalam pikiran masing-masing hingga getaran yang disebabkan oleh handphone Riyan membuyarkan lamunan mereka. Riyan meraih handphone-nya di atas meja. Riyan termangu selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.
"Halo?" sapanya pelan. Entah apa yang Erika katakan di seberang sana namun mampu membuat Riyan bangkit dari duduknya dengan cepat hingga kursi yang ia duduki menimbulkan suara mengilukan.
Ketika ia hendak melangkahkan kakinya meninggalkan bar, Riyan teringat ada percakapan yang masih menggantug yang harus terpaksa ia tinggalkan. Lelaki itu membalikkan tubuhnya, menoleh untuk menatap Dion yang bergeming kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang
Aktuelle Literatur[Completed] Tentang mereka yang tersesat oleh waktu, tentang mereka yang belajar memaafkan, tentang mereka yang belajar dan menerima diri sendiri.