28 - Mungkin, Ini Yang Terbaik

156 34 9
                                    

Agustus, 2017

"Hah? Tinggal di apartemennya Tante Eva?"

Siang itu terik. Begitu tiba di kampusnya, Kira langsung mengambil bucket hat miliknya yang ada di dalam tas dan memakainya di kepala. Tak lama setelah itu, sebuah dering handphone terdengar dari dalam tasnya. Ketika Kira merogoh isi tasnya, nama Ibu terlihat di layar benda itu. Kira segera duduk di kursi yang ada di dekatnya untuk berbicara dengan ibunya tanpa ada gangguan.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Kira kembali memastikan.

"Tante Eva mau pindah ke New York, Ki. Kan ikut suaminya yang bule itu."

Kira mengangguk, walau ibunya tentu tidak dapat melihat itu. Seminggu yang lalu, Kira juga menghadiri pernikahan adik sepupu ibunya yang paling kecil dengan seorang WNA. Kira juga tahu dengan rencana sang tante untuk segera pindah ke New York, ikut dengan suaminya. Tetapi Kira tidak menyangka bahwa dirinya lah yang diminta untuk menempati apartemen milik tantenya itu.

"Kamu enggak mau ya, Ki?" Suara ibunya kembali terdengar karena Kira tak kunjung bersuara.

"Mau-mau aja kok, Bu. Lagian, enggak jauh banget dari kampus. Dua puluh lima menitan sih. Aku juga enggak sering banget ke kampus sekarang."

Dua tahun berlalu sejak tidak ada lagi sosok Handaru Sharga di kehidupan Kira. Selama dua tahun itu pula, ada banyak hal yang terjadi kepadanya.

Kira memperbaiki dirinya sebaik mungkin dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Setelah selesai magang dan KKN di tahun 2016, Kira memutuskan untuk mengambil cuti satu semester karena ia sudah keenakan bekerja di studio foto milik teman SMA-nya Dion. Tanpa Kira minta, Dion juga memutuskan untuk mengambil cuti kuliah.

Selama itu pula, pertemanan keempat orang itu tak lagi sama. Setelah selesai KKN, Nika lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman KKN-nya dan selalu memberikan alasan ketika Kira mengajaknya untuk ikut berkumpul. Sekali, Kira dapat memaklumi, namun ketika sudah berkali-kali, Kira tak mau tahu lagi.

Prinsipnya sekarang adalah, Kalau lo mau berteman sama gue, yaudah. Kalau enggak, gue enggak apa-apa juga. Selama memperbaiki dirinya, Kira sadar, bahwa ia tidak bisa memaksakan orang untuk tetap tinggal. Kira juga percaya, bahwa orang-orang yang ada di dekatnya akan pergi suatu saat nanti.

"Ya udah deh, nanti aku telepon Tante Eva, Bu."

"Tante Eva maunya kamu dateng sore ini ke sana. Bisa? Atau kamu lagi kerja?"

Kira bergumam, tampak berpikir dan mengingat-ingat schedulenya hari ini. "Enggak sih, tapi lihat nanti ya, Bu. Ntar aku kabarin Tante Eva."

"Hari ini Wuren sama Nika sidang ya?" Kira termangu dan terkekeh pelan begitu ibunya menyebutkan nama Wuren dan Nika. Ia tidak menyangka jika ibunya akan menyebut nama kedua orang itu. Apalagi mempertanyakan tentang sidang mereka—yang sebenarnya merupakan sebuah topik yang agak sensitif.

"Iya. Ini aku lagi di kampus."

"Salam sama Wuren dan Nika ya, Ki." Suara ibunya terdengar hangat dan tidak menuntut pertanyaan apapun lagi setelah itu.

Padahal ibunya tidak bertanya apa-apa tapi entah kenapa, Kira merasa tidak enak kepada ibunya. Waktu Kira memutuskan untuk mengambil cuti, ayah dan ibunya sebenarnya tidak setuju. Akan tetapi, Kira terus meyakinkan kedua orang tuanya bahwa Kira akan berkuliah dengan sungguh-sungguh setelah istirahat selama satu semester.

"Bu, maaf ya. Habis ini, aku enggak males-males kok." Kira tersenyum, berharap ibunya juga dapat melihat senyumannya itu.

Terdengar suara kekehan pelan dari seberang sana yang ikut membuat Kira semakin melebarkan senyumannya. "Iya, Ibu percaya sama Kiki kok. Yang penting tetap jaga kesehatan ya, Nak? Jangan malah kecapekan."

TentangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang