19 - Bimbang

150 34 12
                                    

April, 2015

Dion dan Wuren duduk di balkon atas lantai dua. Malam itu, mereka tidak ikut bergabung memakan pizza di bawah, setelah memberi berbagai macam alasan. Dion sangat mengerti, jika sesuatu hal sudah diketahui oleh Wuren, maka akan sulit sekali untuk menghindari kecuali mengatakan yang sejujurnya kepada lelaki itu.

Dion memutuskan untuk bercerita, kecuali tentang satu hal. Tentang perasaannya kepada Kirana.

"Jadi, Nika naksir sama lo?" tanya Wuren, sekali lagi memastikan.

Dion mengangguk lemah. Lelaki itu menghembuskan asap rokoknya ke udara, sembari menatapi rintik hujan yang turun.

"Terus? Lo naksir siapa?"

Dion termangu. Ia sudah mengira pertanyaan ini pasti akan ditanyakan oleh Wuren. Dion tentu sudah menyiapkan jawaban sejak ia mengajak Wuren untuk duduk berdua di balkon ini.

"Gue enggak naksir siapa-siapa, Ren. Sumpah." balas Dion, setelah membuang puntung rokoknya yang terbakar ke asbak yang ada di meja.

Wuren menaikkan sebelah alisnya, melempar pandangan ragu. Melihat itu, Dion berdecak kesal dan tertawa kecil. "Ya elah. Sumpah, Ren. Enggak ada naksir siapa-siapa. Lo denger apa sih tadi?"

"Tadi kayaknya ada. Tapi, gue lupa."

Dion tersenyum kecil lalu mengalihkan atensinya dari Wuren lagi dan diam-diam bernapas lega.

"Terus kenapa dia marah sama elo?"

"Siapa yang marah?"

"Anika,"

"Nika enggak marah sama gue, Ren. Cuma kesel sama dirinya sendiri karena keceplosan bilang suka. Karena..." Dion menghentikan kalimatnya sesaat. "Karena, hubungan gue sama dia jadi canggung. Dia nyesel. Cuma itu."

Wuren menghela napasnya dan bersandar pada sandaran kursi. "This is why a girl and a boy can't be friends,"

"You think so?"

Wuren menganggukkan kepalanya, "Cewek sama cowok bisa temenan kalau mereka berdua sama-sama punya pacar. Maksud gue, ketika cewek sama cowok deketnya intense, kayak elo ke Nika, ke Kira. Ke mana-mana bareng, enggak akan menutup kemungkinan kalau salah satu dari lo bakalan jatuh cinta."

Dion mendengus dan dalam hati menyetujui ucapan Wuren. Ucapannya tidak salah. Dion mengerti betul maksud ucapan Wuren karena ia langsung teringat kepada Kira saat itu juga.

"Gue punya Aya, Kira punya Bang Handaru. Makanya, kita enggak naksir lo berdua." kata Wuren lagi dan menatap Dion. "Lo gimana? Kalau lo enggak naksir Nika, apa lo naksir Kirana?"

Lagi. Ketika Wuren menyebut nama Kira, jantung Dion berdetak tak karuan dan seketika ia takut, jika orang sepeka Wuren mengetahui rahasia yang paling ingin ia kubur dalam-dalam. Ia tak ingin lagi ada yang tahu selain Nika.

"Gue enggak naksir siapa-siapa, Ren." jawab Dion akhirnya setelah memberi jeda.

"Yon,"

Dion menolehkan kepalanya ke arah Wuren. "Lo masih normal kan?"

Dion memejamkan matanya sekilas dan sudah bersiap-siap untuk memberikan pukulan kepada Wuren. Tapi sebagai gantinya, Wuren tergelak dan mau tak mau, Dion pun ikut tertawa.

"Seru banget,"

Baik Dion dan juga Wuren sama-sama menoleh ke arah pintu, menghadirkan presensi Handaru di sana. Lelaki berlesung pipi itu tersenyum lalu berjalan menghampiri Dion dan mengambil kotak rokok miliknya.

TentangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang