𝙼𝚒𝚜𝚝𝚢-𝚎𝚢𝚎𝚍

177 35 19
                                    

Sebelumnya, terima kasih sudah berkenan membuka cerita ini dan membacanya. Harap berikan feedback berupa Vote & Comment dengan kata-kata yang positif. Bila memberikan kritik, tolong disertai dengan saran yang membangun ya teman-teman.

Selanjutnya, cerita ini masih jauh dari kata sempurna. Mohon dimaklumi adanya typo, atau alur yang terlalu cepat maupun terlalu lambat. Seperti biasa, sebelum membaca, ibadah, tugas, pekerjaan, dsb, tolong diselesaikan lebih dulu, ya!

Mengingatkan sekali lagi bahwa cerita ini hanya fiktif belaka, tolong keseluruhan jalan cerita jangan diambil serius. Tujuanku hanya untuk menghibur kalian, so please be wise!

Sebuah beton berat serasa menggantung diatas kepala Jaemin hingga ia merasa tak mampu mengangkat kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah beton berat serasa menggantung diatas kepala Jaemin hingga ia merasa tak mampu mengangkat kepala. Menatap lantai kamar nampaknya jauh lebih menarik ketimbang menghadapi tatapan Irene yang berdiri didepannya. Memberikan tatapan paling mengintimidasi dari yang pernah Jaemin ingat.

"Tidak ada yang ingin kau katakan?"

Jaemin bergeming. Seolah-olah tak mendengar pertanyaan Irene.

"Kau tidak ingin meminta maaf kepada kami?"

Jaemin mengepalkan kedua tangan. Ditatapnya ponsel berwarna rose gold yang telah hancur di lantai, berceceran kemana-mana. Hasil dari perbuatan Irene karena Jaemin terus-menerus memohon untuk dikembalikan ponselnya.

"Kau akan mengabaikan mama?"

Irene meraih dagu Jaemin dan meremasnya kuat.

Tak mendapat reaksi apapun dari Jaemin, Irene mendecih meremehkan.

"Kau tau ayahmu tidak akan membelamu kali ini, 'kan?"

Jaemin menahan nafas. Merasa kilatan kebencian dari kedua sorot mata Irene hingga membuatnya merasa kembali terluka. Kilasan kekerasan yang selama ini dilakukan Irene padanya terputar kembali dalam ingatan remaja berusia tujuh belas tahun itu.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Suara serak Jaemin membalas rentetan pertanyaan yang Irene layangkan.

Masih dengan meremas kuat dagu Jaemin, Irene mengangkat salah satu alis. Mempersilahkan putranya bertanya tanpa membuang-buang waktu.

"Apa alasan mama membenciku?"

Kedua mata Jaemin membalas tatapan dingin Irene. Dua pasang sinar mata dengan arti yang berbeda itu saling bertubrukan.

"Aku sudah berusaha menjadi anak yang baik" Jaemin tercekat, "Tapi kenapa mama membenciku?"

Tidak ada lagi nama 'Varel' ketika Jaemin menyebut dirinya kepada sang ibu. Panggilan yang selalu Jaemin sebutkan hanya kepada Irene kini seolah menghilang. Saat ini, baik Jaemin maupun Irene selayaknya orang asing.

"Kau mau tau jawabanku?" Irene yang menyadari perubahan pada Jaemin tak terkejut sama sekali. Malah, ia mengikuti alur yang dibawa Jaemin.

"Karena sejak awal, aku tidak pernah mengharapkan kehadiranmu."

𝑻𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈: 𝑨𝒏𝒈𝒊𝒏 [𝑱𝒂𝒆𝒎𝑹𝒆𝒏]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang