Bismillah...
Maya menutup tasnya lalu beralih memeriksa laci meja dengan gelisah. Ia menghela napas panjang lalu terduduk begitu saja di lantai saat tidak menemukan benda berwarna biru dongker yang ia cari-cari sedari tadi.
"Gimana nih, kayaknya topi gue ketinggalan," katanya sambil menggaruk kepala yang mendadak gatal karena panik.
Maya lalu berdiri kembali, mencoba memeriksa tas dan laci meja, masih berharap kalau mungkin benda yang suka hilang di hari senin itu terselip di antara buku atau di dalam laci, namun nihil, topi upacaranya tetap tak ditemukan.
"May, upacara dah mau mulai!"
Suara seorang laki-laki dari bibir pintu membuat Maya tersentak kaget. Ia lalu menoleh ke belakang, menatap seorang cowok berkulit putih yang balas menatapnya dengan alis terangkat.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya laki-laki bernama Yohan itu sambil berjalan mendekat. Maya menggeleng.
"Enggak, gue gak sakit," jawabnya.
"Trus? Kok masih disini?" tanya Yohan dengan dahi berkerut, lalu tersentak sendiri baru ingat, "oh, gue tau, lo gugup ya karena bakalan jadi pengibar bendera? Tenang aja, everything gonna be okay, kan kemarin udah latihan," katanya mencoba menenangkan.
Maya mendesah pelan, "Bukan itu masalahnya, topi gue ketinggalan."
Yohan mendelik. "Kok bisa?" katanya.
"Seingat gue udah gue masukin ke tas, tapi kayaknya dikeluarin lagi deh sama Moana," jawab Maya tak bertenaga.
"Moana? Adik lo yang baru lahir itu?" tanya Yohan yang masih ingat jika dulu ia dan teman sekelas mereka pernah ke rumah Maya untuk melihat adik Maya yang baru lahir.
Maya menghela napas panjang, "Gak baru lahir juga, udah satu tahun lewat beberapa bulan," jelas Maya. "Kan lo ke rumah gue waktu kelas 8 Yo, sekarang kita udah kelas 9."
"Oh iya juga, trus gimana dong?"
"Ya gimana, kalau gue gak ada topi udah pasti kena hukum, mana yang piket senin itu Pak Damri, aduh, kenapa tadi gak gue cek ulang sih," kata gadis itu mengomeli diri sendiri sambil kembali mengacak isi tas.
Yohan diam sambil mengamati Maya yang masih panik, lalu entah mendapat ide dari mana tiba-tiba ia memasangkan topinya ke kepala Maya, membuat gadis dengan hijab putih itu mendongak kaget.
"Pakai topi gue aja," ucap cowok itu. Maya tertegun.
"Trus lo gimana?" tanyanya khawatir.
"Gak apa-apa, gue kan cuma jadi peserta upacara, jadi kalau gue yang dihukum gak apa-apa, kalau pengibar benderanya yang gak ada, bisa-bisa upacara jadi gagal."
"Tapi gue bisa minta gantiin sama—"
"Udah gak apa-apa, lo pakai aja, ini kan upacara terakhir kita di SMP, jadi tampil yang maksimal ya nanti," potong Yohan lalu tersenyum manis.
Kali ini Maya tak sanggup membantah. Ia memalingkan pandangan, menyembunyikan pipinya yang mendadak terasa panas. Ada debaran aneh yang muncul akibat senyuman pemuda itu. Sedangkan Yohan malah terkekeh lalu mulai melangkah keluar kelas, meninggalkan Maya yang masih berusaha menguasai diri.
Merasa gadis itu tak mengikutinya, Yohan kembali menoleh.
"May, Ayo!" serunya.
"Oh-Eh, iya!" jawabnya terbata sambil berlari kecil mengikuti Yohan.
Yohan lalu kembali melanjutkan langkah, dengan Maya yang berjalan dengan kepala tertunduk di belakangnya. Gadis itu mendesah panjang.
Udah mau kelulusan, kenapa tiba-tiba gue jadi jatuh cinta sama makhluk satu ini? decak Maya di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya Semua Perempuan Itu Cantik [SELESAI]
Teen Fiction"Kalau memang begitu, kenapa semua perempuan berlomba untuk memenuhi standar kecantikan?" * Present: Kimora Amaya Kusuma🌧️ Yohan Rahmat Wijaya☀️ Selatan Khatulistiwa⚡ P.s : Cerita ini hanyalah cerita Fiksi. Bukan benar-benar terjadi di kehidupan...