TUWENTI SEVEN

4.4K 428 19
                                    

"Lebih suka gue atau Pak Rama?"

🐀🐀🐀

Wajah Linda nampak berseri sekali hari ini. Senyum manis tak kunjung luntur dari wajahnya. Sejak melagkah memasuki area fakultas, Linda tak henti-hentinya memamerkan deretan gigi kelincinya pada siapapun yang ia temui. Entah mendapat wangsit dari mana, namun sepertinya suasana hati gadis itu sedang sangat baik sekali hari ini. Hal itu mengundang tatapan heran orang-orang yang ia sapa. Linda yang biasanya berwatak garang dan blak-blakan, kini beruba menjadi riang dan murah senyum. Bagi orang yang mengenalnya dengan baik pasti menganggap Linda tak waras. Pun dengan laki-laki yang tiba-tiba saja hadir disampingnya lalu merangkul Linda dengan erat.

"Aduh, gue kecekek, uhuk," tangan Linda menepuk lengan kekar yang melingkari lehernya itu.

"Hehehe, maap," Lelaki itu melonggarkan rangkulannya. "Tumben amat pagi-pagi udah sumringa aja. Habis menang lotre ya neng?" Serunya.

Linda tersenyum sinis menatap lelaki disampingnya itu, "Gue lagi seneng, Sa. Udah deh sono, minggir. Jangan ganggu gue ih," wanita itu berusaha melepaskan rangkulan Arsa.

"Eits, nggak bisa. Hahaha," bukannya menjauh, lelaki itu malah kian merekatkan rangkulannya, membuat wanita itu akhirnya pasrah.

"Serah lo lah. Males gue," ungkap Linda kesal.

Arsa tertawa lepas melihat respon wanita itu. "Neng, jangan ngambek dong," Arsa mencolek pipi Linda. Linda yang dicolek langsung menepis tangan Arsa kasar.

"Galak amat," komentarnya. Linda hanya membalas komentar Arsa dengan tatapan sinis. "Jangan galak-galak dong Lin. Entar gue beliin es krim jagung sepuas lo deh." Tawarnya.

Linda terang-terangan mencuri lirik pada Arsa. "Beneran nih?" Senyum Arsa mengembang. Kali ini trik menjinakkan Linda berjalan dengan sukses. Ia harus berterimakasih kepada hubungan persahabatan mereka yang sudah berjalan sepuluh tahun. Darinya, ia bisa tahu dan mengerti banyak tentang gadis itu. Cukup tawarkan makanan, maka gadis itu akan luluh dengan sendirinya.

"Sepuas lo." Ulangnya.

Senyum manis Linda tersungging, "Oke deh." Serunya mengakhiri perdebatan.

Senyum Arsa semakin lebar saat melihat tingkah Linda. "Ngomong-ngomong, kemarin lo kemana? Gue samperin ke rumah kok lo nggak ada?" Tanyanya.

Linda melirik Arsa sekilas. "Oh itu," bibir wanita itu berkedut, berusaha menahan senyum. "Gu-gue ada acara," jawabnya cepat sembari memalingkan wajah.

"Lah, lo kenapa Lin? Wajah lo kenapa jadi merah?"

"H-hah?"

Mata Arsa menyipit, lelaki itu mengamati waja Linda lama. "Hem..." telunjuk Arsa terparkir di dagunya. "Gue mencium bau-bau mencurigakan." Imbuhnya.

"Aa-ah, apaan sih lo." Linda melambaikan tangannya, berusaha menyangkal opini Arsa.

"Bentar!" Langkah Arsa terhenti. Kedua tangannya langsung menangkup pipi Linda dengan tiba-tiba. Linda yang tak siap dengan perlakuan Arsa langsung terdiam ditempat. Mata wanita itu membola saat menyaksikan wajah Arsa dalam jarak sedekat ini.

Arsa tersenyum sekilas, "Hm," ia menjeda kalimatnya.

"A-apa?" Seru Linda gugup. Tak dapat dipungkiri, berada dalam jarak sedekat ini dengan Arsa membuat hatinya kembali bertalu. Rasa yang sejak dulu ingin ia kubur dalam-dalam, malah kembali mencuat. Layaknya guguran daun maple saat musim gugur tiba, rasa yang seharusnya tak ada itu malah menggungguri hatinya, menghujaninya dengan helaian daun-daun cinta. Dengan perlahan daun itu jatuh, menari-nari bersama hembusan angin, lalu hinggap tepat di pusat hatinya. Ah, ia tak bisa mengelak jika hatinya kini benar-benar bergemuruh.

"Lo habis kencan ya?" Tanya Arsa dengan suara rendah.

"H-hah?"

"Sama Pak Rama?"

"Ah, itu-" bola mata Linda berusaha menghindari tatapan tajam Arsa. Sejak tadi lelaki itu tak pernah berniat melepaskan tatapan mautnya pada Linda. Hal itu membuat Linda keki. Wanita itu paling tidak tahan jika ditatap Arsa dengan tajam, terlebih lagi dalam jarak sedekat ini. Hatinya yang plin-plan itu pastj sudah berdetak kencang sejak tadi, dan ia tak ingin Arsa mendengarnya.

Linda mengangguk tertahan. Mata wanita itu berubah sayu saat tangkupan Arsa terlepas. Lelaki itu menghela nafas keras-keras sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam hoodie hitamnya.

"Lo suka sama Pak Rama?" Tanya Arsa langsung.

"Hah? Enggak." Suara Linda berubah lirih saat tiba di kalimat terakhir. Mata wanita itu menyipit, seakan ragu dengan ucapannya sendiri.

Hei, bukankah selama ini ia menyukai Arsa? Lalu mengapa kini ia meragu?

Bukankah baru saja jantungnya juga berdetak kencang karena Arsa? Lalu mengapa kini hatinya terasa kelu?

Linda menggeleng pelan. Tidak-tidak! Ia paham betul hatinya sedang berlabuh di Arsa. Ya, hatinya memang untuk Arsa, lelaki yang ia suka delapan tahun terakhir ini.

"Lebih suka gue atau Pak Rama?"

"Lo," mata Linda seketika melebar saat tersadar akan jawabannya. Wanita itu mendesah keras saat tak sadar menjawab pertanyaan Arsa dengan cepat.

Sudut bibir Arsa terangkat. Mulut lelaki itu mengulas senyum lebar. "Lin, kencan sama gue yuk?"

"Hah?" Alis Linda seketika terangkat saat mendengar ajakan Arsa. Ia tak salah dengar 'kan?

"Gue jemput besok ya manis," tangan Arsa mengacak lembut puncak kepala Linda yang tertutup jilbab. Perlakuan yang Arsa berikan mendapat sambutan hangat dari Linda. Terbukti dengan hatinya yang langsung menghangat. Ya, ia lelaki yang ia suka adalah Arsa, tak ada yang lain.

Arsa kembali mengulas senyum manis. Jemarinya meraih tangan Linda, menautkan keduanya erat. "Ke kelas yuk,"

"Ehem," belum sempat keduanya melangkah bersama, sebuah suara menginterupsi untuk menghentikan kegiata mereka. Keduanya kompak menengok ke sumber suara.

Disana, lelaki dengan setelah serba hitam tengah menatap mereka tajam. Tangan lelaki itu tertanam di saku celama bahannya. Mata elangnya menatap kedua insan itu tajam, seakan tengah menatap mangsa yang ia incar. "Kampus bukan tempat untuk pacaran." Bentaknya.

Mata lelaki itu lalu turun, menatap genggaman tangan Linda dan Arsa. Senyum sinis terukir jelas di bibirnya. "Cih, menjijikkan. Tidak tau tempat sama  sekali." Komentarnya.

Linda menelan ludah susah payah saat menatap Rama dengan wajah dinginnya. "Ma-maaf, pak."

Mata Rama beralih menatap Linda tajam. Lelaki itu lalu mendengus keras. "Kamu sadar posisi kamu?" Alis lelaki itu terangkat sebelah. Gigi Rama bergemelutuk karena kesal. Melihat keduanya membuatnya merasa mual.

"Baik, bapak." Arsa kini angkat bicata. "Maaf apabila kami meyinggung perasaan Bapak. Kedepannya nanti kami tidak akan berpacaran didepan bapak langsung kok." Mata Arsa balas menatap Rama sengit. "Iya, 'kan sayang?" Lelaki itu sengaja menekan kalimat terakhirnya. Ia ingin lelaki itu tau bahwa gadis disampingnya ini adalah miliknya. Dan selamanya akan seperti itu.

"Ah, i-" belum selesai Linda berucap, Arsa langsung memotongnya dengan sindiran tajam yang ia tujukan pada Rama.

"Kami permisi dulu, Pak. Saya mau kencan dulu sama pacar saya. Saya ingin memperlakukannya dengan baik. Setidaknya saya ingin berusaha membuatnya bahagia," sudut bibir Arsa terangkat sebelah, senyum sinis terukir jelas dibibirnya. "karena saya tidak ingin menjadi seperti 'seseorang' yang memaksakan kehendaknya untuk menikahi gadis disamping saya ini." Arsa mengangguk sopan lalu menarik Linda menjauh bersamanya.

Rama menatap kepergian Linda dan Arsa dengan mata memerah. Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sindiran Arsa benar-benar membuatnya pias, karena apa yang lelaki itu katakan memang benar adanya.

🐀🐀🐀

Kuliah bener-bener bikin kepala cenat cenut. Anyway, jangan lupa vote dan commentnya.

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang