ILEVEN

11.4K 820 27
                                    

Slurp, Aku menyedot ingusku agar mau kembali masuk ke dalam hidungku. Tanganku ku gunakan untuk memijat pangkal hidungku yang mulai terasa nyeri karena terlalu lama menangis. Sesekali aku meringis karena nyeri di dada yang membuatku kesulitan bernafas. Aku memejamkan mata mencoba mengusir pening yang selalu datang setelah drama tangisan.

"Makanya, kalau nggak kuat nangis itu nggak usah sok-sokan." Aku berdecak kesal mendengar omelan Mas Akmal. Sebagai seorang kakak, seharusnya ia punya inisiatif untuk membantuku agar segera pulih, bukan malah mengejekku habis-habisan. Jika saja aku tidak merasa pening, sudah kupastikan lengan Mas Akmal patah saat itu juga.

"Diem. Banyak omong lo." Desisku tak suka.

"Galak amat. Kayak si Rama." Mas Akmal terkekeh geli. Detik berikutnya aku merasakan pijatan lembut di area pelipisku.

Aku membuka mataki perlahan. "Rama? Rama si Herder?" Tanyaku. Atau Rama dosen sekaligus calon suami gue?

"Yaiyalah. Rama mana lagi menurut lo." Seru Mas Akmal sewot.

Aku mengedikkan bahu acuh. "Siapa tahu Rama dosen gue. Dosen gue namanya juga Rama."

Mata Mas Akmal melebar. Nampaknya ia tertarik dengan jawabanku kali ini. "Masa? Eh, bukannya nama calon suami lo juga Rama?"

"Iya." Jawabku malas. Mengingat om dosen penyuka anak-anak itu membuatku bergidik ngeri. Ditambah lagi statusnya yang kini berubah menjadi calon suamiku semakin menambah kengerianku padanya.

Aku menghembuskan nafas berat. Bahuku melorot ke bawah saat menyadari nasibku kali ini benar-benar buruk. Menyadari bahwa aku termasuk salah satu korban dari manusia pedofil membuatku terus berpikir ulang akan nikmatnya hidup. Apalagi fakta bahwa aku akan segera menikah dengan dosen pedofil itu membuatku semakin malas untuk hidup. Yah, anggap saja aku adalah umpan pancing yang di lemparkan ke kandang macan tanpa dibekali pertahanan apapun.

"Katanya si Herder mau kemari, Mas?" Tanyaku saat teringat perkataan Mas Akmal minggu lalu.

"Iya. Hari ini katanya dia ke sini. Tapi nggak tahu datangnya jam berapa." Mas Akmal mengusap lembut daerah di antara alisku. "Masih pusing?" Tanyanya.

"Dikit." Aku tersenyum sekilas pada Mas Akmal.

"Makanya, kurangin tuh cengengmu. Udah mau jadi S3 (baca istri) juga masih mewek. Plis lah, jangan bikin gue khawatir terus." Mas Akmal menyentil dahiku pelan.

"Aduh." Aku menatap galak Mas Akmal. Mas Akmal malah menatapku dengan kekehan gelinya. Tanpa sadar, kekehan itu menular padaku.  Empeduku seketika terasa begetar. Yah, walaupun Mas Akmal jahinya nggak ketulungan, tapi Mas Akmal selalu siap sedia disaat aku membutuhkannya. Tanpa sadar, aku merapalkan doa demi kebahagiaan satu-satunya saudara yang kupunya. Satu-satunya lelaki yang menjadi sandaranku saat ini.

~•♡•~

Aku menggerutu pelan menatap layar laptop yang menampilkan deretan paragraf. Sedari sore tadi, kuhabiskan waktuku berkutat di hadapan laptop dan buku tebal. Malam ini juga deadline pengumpulan tugas dari Pak Rama. "Nih dosen kalau ngasih tugas nggak itung-itung apa." Aku membolak-balik buku setebal dosa-dosaku.

"Dosen yang ngasih mah enak tinggal ngoreksi. Lah gue, satu tugas aja ngerjainnya 7 hari 7 malam." Aku menekan tuts keyboard setelah menemukan apa yang kucari.

Alunan musik dari band kesukaanku, 5 Second of Summer sama sekali tak membantu merilekskan pikiranku. Biasanya, dengan mendengarkan musik atau sekadar bersenandung mampu memberikan efek nyaman pada diriku. Tapi kali ini tidak. Mungkin saja karena otakku sudah terlalu lelah memikirkan tumpukan tugas yang bejibun banyaknya.

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang