TERTIN

11.9K 910 77
                                    

I'm in love with you, but you're in love with her. Yak, mundur yuk, mundur.

👉😭👈

"Cih, apaan, masa gitu aja marah." Aku membalik bantal yang menjadi tumpuan kepalaku. Sensasi dingin nan nyaman yang ku dapat membuatku tersenyum sekilas, namun, sedetik kemudian suasana hatiku berubah muram, lagi. Yah, benar sekali, ini semua karena Pak Rama.

Pak Rama langsung pulang selepas perdebatan sengit kami. Perdebatan kecil yang kurasa tak akan terlalu berefek, namun ternyata dugaanku meleset. Pak Rama seketila berdiri dan pergi tanpa menengok padaku. Ia langsung berpamitan pada Mama dan Mas Akmal yang tengah bersantai di teras. Berkali-kali aku memanggil namanya, namun lelaki itu seakan menulikan pendengarannya.

"Ck, sebenarnya calon istrinya itu gue apa Mas Akmal, sih?" Karena kesal, ku gigit ujung guling yang kini tengah kupeluk.

Saking kesalnya, kakiku yang tertupi selimut ku hentak-hentakkan sembari menjerit tertahan. Bayangan pertengakaran kami terus berputar di kepalaku, membuatku mau tak mau mengingat kembali perdebatan kami. Tentu saja, perasaanku semakin dongkol seiring dengan otakku yang terus menunjukkan setiap detil peristiwa tersebut. Apalagi saat Pak Rama dengan gamblang mendeklarasikan keinginannya tanpa tedeng aling-aling.

"Makanya saya datang kesini buat ngajak kamu nikah secepatnya. Setelah itu kita bikin anak yang banyak agar bisa berguna untuk bangsa dan negara."

Mataku seketika melotot sempurna mendengar perkataan absurd Pak Rama. Tidak sampai disitu, kalimat lanjutan yang Pak Rama lontarkan serasa membuatku terkena serangan jantung mendadak.

"Kamu nggak perlu ragu lagi. Setiap setengah tahun sekali saya selalu memeriksakan kesehatan organ reproduksi saya. Saya jamin, sekali tembak pasti langsung jadi."

Uhuk, uhuk. Layaknya novel romansa picisan, aku seketika tersedak air liurku sendiri. Bukan hanya karena kalimat Pak Rama saja, namun, fakta bahwa lelaki dengan nama lengkap Rama Gumilar itu adalah dosen lulusan salah satu universitas di Vienna ikut menohokku. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa seorang laki-laki berpendidikan dengan rentetan gelar di belakang namanya bisa berkata sevulgar itu.

"Cowok mah emang gitu. Mau gimanapun wataknya, pasti ada-lah satu atau dua pikiran nylenehnya." Ingatanku seketika melayang pada percakapanku dengan Arsa dua tahun lalu, saat aku tak sengaja membeberkan rasa sakit di hatiku akibat luka yang ayahku torehkan.

"Tapi, apa yang Ayah lakukan apa masih termasuk kategori wajar?" Aku menatap Arsa dengan berlinang air mata. Lelaki itu balas menatapku dengan pandangan hangat.

"Aku ngomong tentang laki-laki pada umumnya, Lin. Tapi, kalau laki-laki yang kamu sebutkan tadi, aku angkat tangan." Ucapnya diakhiri dengan kekehan.

Aku mencoba melonggarkan tenggorokanku yang terasa gatal. Tanganku yang bebas ku gunakan untuk menyeka air mata yang lancang menggenang di pelupuk mata.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya dengan nada kekhawatiran yang kentara.

"Ehem..." Aku masih mencoba melonggarkan tenggorokanku yang kini malah terasa perih akibat perhatian Pak Rama. Bukan tanpa sebab, ingatan yang tiba-tiba menghampiriku membuatku seakan terlempar pada kenangan masa lalu. Laki-laki dan selangkangan. Dua hal yang tak akan pernah bisa lepas dari sosok bernama laki-laki. Sudut hatiku berdenyut nyeri merasakan ketakutan yang tiba-tiba hadir. Akankah Pak Rama akan sama seperti ayah?

"Mau minum?"

Aku langsung menolak tawaran Pak Rama dengan isyarat tanganku yang kulambaikan. "Ng-gak perlu." Ucapku terbata-bata.

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang