EIT

11.9K 873 20
                                    

Plak!

Nafas Linda memburu. Tangannya ia pakai untuk memeluk lututnya. Giginya tak henti-hentinya bergemelutuk, tangannya bergetar seiring dengan kecemasan yang kian meningkat.

Dengungan suara tamparan dari ayahnya dulu sama sekali tak pernah lenyap dari fikirannya. Suara rintihan dari bibir Mamanya semakin membuatnya tak terkendali. Ia memejamkan matanya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Arghhh! Sekuat apapun Linda mencoba untuk tenang, malah akan membuat dirinya semakin tersiksa.

Ia benci itu.

"Lin..." suara ketukan dari luar kamar mandi mengalihkan perhatiannya.

"Keluar yuk, udah setengah jam lo di sana."

"Tenangin diri lo, Lin. Semakin lama lo di dalam sana, penyakit lo semakin menjadi." Akmal tak henti-hentinya membujuk agar adiknya mau keluar dari dalam kamar mandi.

"Percaya sama gue, Lin. Jangan biarkan penyakit itu menguasai diri lo. Jangan sampai lo kehilangan kendali, Lin."

Linda menggigit kukunya. Dirinya bimbang, di satu sisi ia nyaman berada di sini, karena hanya kamar mandi lah tempat teraman baginya. Namun, di sisi lain ia menyetujui ucapan kakaknya, semakin lama ia mengurung diri, maka semakin sakit jiwanya.

Wanita itu memejamkan mata, berusaha menetralkan detak jantungnya yang semakin cepat. Tangannya tak henti-hentinya memukul dadanya, mencoba membuka ruang lebih lebar agar oksigen mampu mengisi ruang paru-parunya. Namun, semua itu sia-sia. Akmal benar, semakin lama ia terkurung, semakin menjadi penyakitnya.

Kepala Linda berputar seiring pasokan oksigen yang menipis. Suara dengungan di telinganya semakin menjadi-jadi. Napas wanita itu tersengal di setiap detiknya. Tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar tak terjatuh dari kloset.

"Lin... lo nggak apa-apa, kan?" Akmal menggedor-nggedor pintu kamar mandi. "Kalau sampai lo nggak keluar juga, gue dobrak pintunya."

Matanya mulai berkunang-kunang. Cahaya temaram yang menghiasi ruangan semakin bertambah gelap kala kesadarannya semakin menipis.

"Mas Akmal..." suaranya lenyap begitu saja saat tubuhnya meluncur bebas ke lantai. Hanya pekikan dari kakaknya yang sempat ia dengar sebelum kesadaran benar-benar merenggutnya.

🐒🐒🐒

Linda menuruni tangga dengan malas. Pagi ini, tepat pukul tujuh nanti mata kuliah Biologi Molekuler dengan dosen pengganti di mulai. Haish! Jika absensi tidak termasuk dalam penilaian IPK, mungkin Linda akan lebih memilih rebahan saja di rumah. Toh, baginya biologi hanya dengan membaca pasti akan paham. So, kenapa harus di buat ribet?

"Jelek amat muka lo, sama pantat kebo aja masih bagusan pantat kebo." Linda mendengus kesal kala paginya yang seharusnya indah di hancurkan oleh setan bermuka lima macam kakaknya.

"Hina aja teros. Gue doain lo jomblo seumur hidup." Balasnya tajam.

"Kampret. Mentang-mentang udah di lamar, seenaknya ngedoain orang biar awet jomblo."

Wajah Linda semakin tertekuk, matanya menyipit menatap Akmal sinis. Rasanya, api merah berkobar di sekelilingnya. "Lo mau mati kapan?"

Akmap tertawa cengengesan, "Jangan dulu dong. Gue mau nikah dulu. Hehe... peace." Jarinya membentuk huruf V.

"Ah, udahlah. Gue mau berangkat. Pacar gue udah nunggu dari tadi di depan rumah. Sepet gue lama-lama lihat muka lo yang kayak munyuk itu." Linda berlalu dari hadapan Akmal. Sudah dapat di pastikan mulut lelaki itu berkomat-kamit mengucap mantra.

"Woe! Nanti pulang kuliah gue jemput. Kita ke rumah Arda." Akmal berjalan tergesa mencoba mengimbangi Linda.

"Ngapain?" Tanyanya wanita itu bingung. Pasalnya, Arda adalah kakak dari Arsa. Jika ia ke rumah Arda, tidak menutup kemungkinan ia akan bertemu Arsa. Arghh! Hatinya kan belum terlalu siap untuk menghadapi patah hati selanjutnya.

"Reunian. Mumpung Arda di sini. Biasanya kan tuh anak selalu ngilang ke gunung. Jarang-jarang dia di rumah." Akmal menyandarkan tubuhnya pada gerbang masuk rumahnya.

"Oh, oke. Jam setengah empat nanti. Jangan telat. Cewek nggak suka nunggu." Linda memasang helm berwarna hijau milik pacarnya.

"Oy, bang! Jaga baek-baek adek gue. Tuh mata jangan sampai lompat kemana-mana. Awas aja, gue sikat lo ntar." Akmal menyodorkan bogeman mentah ke helm pacar baru Linda.

"Lin, tas lo buat bates!" Ingatnya.

"Iya-iya, bawel amat sih lo."

🐒🐒🐒

Brak!

Aku menggeletakkan tas ku ke atas meja. Kujatuhkan tubuhku di atas kursi dengan lunglai. Rasa-rasanya penyakit mager ku kambuh hari ini. Ingin rasanya membolos kuliah, tapi hari ini ada kuliah perdana dari dosen baru pengganti Pak Arthur. Haish! Andai kata presensi kehadiran tidak masuk patokan nilai IPK, sudah sejak dulu aku tak perlu repot masuk kampus. Cukup rebahan di rumah sembari membaca buku, and... everything's clear.

"Jam berapa?" Tanyaku pada Ana yang tengah mengecat kukunya.

"Tujuh kurang satu." Jawabnya sembari meniup-niup kukunya.

Aku memutar bola mata malas. Tiada hari tanpa cat kuku baru bagi Ana. Pernah sekali aku menegurnya habis-habisan kala melihat jajaran kutek dengan berbagai varian tersimpan rapi di tasnya. Mulai dari yang polos, berwarna, berglitter, hingga yang shining shimmering splendit. Anak itu bukannya membawa laptop atau buku catatan, tapi malah membawa botolan cat kuku. 'Itu tuh seni, Lin. Artistik, Lin.' Jawabnya saat ku tanya alasannya. Halah, artistik apaan, orang ngecat kukunya masih belepotan kemana-mana. Bahkan kadang telapak tangan aja ikut kecat.

"Morning, class." Suara khas lelaki dengan sedikit kesan serak-serak basah menginterupsiku. Aku menatap dosen baru pengganti Pak Arthur itu dengan mata menyipit. Pasalnya, mata sebelah kananku minus satu setengah, dan sebelah kiriku minus satu. Di tambah lagi tempat duduk VIP ku yang terletak di pojok belakang, semakin membuat pandangan mataku kabur.

"Wuih, cakep banget, Lin. Itu beneran dosen kita? Wuih, Manu Rios aja kalah." Ana menyenggol bahuku. Aku mengernyit seketika. Seganteng itukah dosen iti sampai mata Ana terbuka lebar di buatnya. Memang sih, dari pandangan mataku yang kabur, aku dapat menangkap postur tubuh tegao khas pria dewasa. Dewasa loh ya, bukan tua.

Aku segera merogoh kacamata yang selalu ku simpan di bagian depan ranselku.

"Perkenalkan, nama saya Rama Gumilar. Kalian bisa memanggil saya terserah." Aku masih merogoh tasku, mencoba mencari kaca mata yang mungkin terselip di antara buku-buku.

"Kalau di panggil sayang, boleh pak?" Ucap salah satu mahasiswa di kelasku.

"Memangnya kamu siapanya saya?" Jawaban telak diberikannya. Terdengar suara tertawa menggema di ruangan.

"Bapak udah taken?" Tanya salah seorang.

"Taken? Belum, tapi akan segera." Jawabnya. Terdengar helaan kekecewaan dari beberapa mahasiswi.

"Yah, calonnya siapa, pak?" Ku dengar Analah yang mengajukan pertanyaan itu.

Aih! Dapat juga kaca mata yang ku cari. Ternyata terselip di dalam buku anatomi yang ku bawa hari ini.

"Sama temen sebelah kamu itu."

Aku segera mendongak, hah?

🐒🐒🐒

Next?

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang