TRI

17K 1K 6
                                    

Enggak selamanya apa yang kamu inginkan akan tercapai. Kamu bukan tuhan yang bisa menetapkan segalanya atas kehendakmu.

•~♡~•

Well, I will be the strongest that he ever knew
And I will be there when he needs a love strong enough
Don't worry I will carry your share for us
No matter how bad the storm
I will be strongest that he ever knew and we'll leave you alone

~Wroldsen - Strongest~

Kepalaku bergerak seiring dengan lirik lagu yang mulai memenuhi ruang kepalaku. Sesekali aku bersenandung mengikuti nyanyian. Sembari berdendang, mataku bergerak menelisik ke luar.

Hah! Pagi ini terasa lebih indah dari pagi sebelumnya.

Aku memejamkan mata merasakan sejuknya AC yang menerpa wajahku. Dalam hati aku sangat bersyukur, pagi ini setidaknya aku memperoleh sedikit kebahagiaan dari sekian banyak kebahagiaan yang ku impikan. Tidak perlu yang rumit, cukuo Mama dan Mas Akmal di sampingku itu sudah cukup meredam panas di hatiku.

"Lin... Linda..." samar-samar aku mendengar Mas Akmal memanggilku. Ku lepas headphone yang melekat di kepalaku. "Apaaan?" Tanyaku.

Mas Akmal tersenyum aneh. "Gue mau ngomong. Tapi lo jangan marah duluan." Mas Akmal menyengir lebar.

"Lah, bukannya dari tadi lo udah ngomong?" Aku mengernyit heran.

"Beda bloon." Mas Akmal menoyor kepalaku.

"Yaudah apaan?"

"Gue tadi habis dapet telepon." Mas Akaml menjeda kalinatnya. "Dari Rama." Lanjutnya.

Alisku terangkat, "Lah terus hubungannya sama gue apaan?" Aku semakin terheran-heran.

"Dia kan udah balik ke Indo, kan. Nah, rencananya dia mau..." Mas Akmal mengusap tengkuknya canggung. "Dia-mau-maen-ke-rumah." Lanjutnya dengan suara tak jelas.

Aku diam sejenak, mencoba mencerna kalimatnya. "Anjir! Si Herder mau ke rumah!" Teriakku histeris.

"Nggak usah pakai teriak, neng." Mas Akmal mengusap telinganya dengan wajah jutek.

"Demi apa? Beneran Si Herder mau ke rumah?" Jantungku serasa dipompa lebih cepat. Tubuhku berubah panik. Bukan, bukan karena dia orang istimewa yang mampu membuat tubuhku gemetar akan pesonanya. Namun, si Herder adalah salah satu orang yang paling ingin ku hindari. Wajahnya yang datar, dengan kata-kata pedas yang ia lemparkan tanpa pandang bulu, di tambah lagi kecerewetannya yang tiada habisnya. Argh! Lebih baik tidak pulang ke rumah dari pada harus bertemu Herder gila.

"Jangan berpikir untuk kabur lagi." Seperti mendapat wangsit, Mas Akmal nampaknya tahu rencanaku dalam upaya 'menghindari Herder galak'.

"Lo udah ribuan kali ngilang setiap kali Rama main ke rumah. Nggak hanya lo yang capek denger kecerewetannya, gue juga." Keluhnya.

"Lah, terus kenapa lo ijinin dia main ke rumah?" Sewotku.

"He's my bestie, Lin." Jawabnya enteng.

"Hi is mi bisti." Ejekku. "Kalau bestie, kenapa lo malah nggak seneng sama kecerewetannya? Sahabat tuh seharusnya nerima kekurangan." Semprotku.

Mas Akmal terkekeh. "Semua orang pasti merasakan ketidaksukaan terhadap orang lain. Simply, sebagian suami ada yang nggak suka dengan kecerewetan istrinya, begitupun sebaliknya. Rama itu baik, baik banget malah. Yah, cuma kecerewetan yang menuntut segala sesuatu harus sempurna, itu yang menurut gue minusnya dari dia."

"Halah, bagi gue Herder ya tetep Herder. Galak." Elakku.

Mas Akmal mengangguk paham. "Dia emang galak, cerewet, dan cuek. Tapi dia nggak seburuk apa yang ada di pikiran lo. Ada banyak nilai plus yang ada di dirinya. Dia pinter, cekatan, disiplin, dan tentunya ganteng." Aku bergidik ngeri mendengar kata terakhir dari kalimat Mas Akmal.

"Lo belum benar-benar mengenal Rama, Lin. Ada banyak hal yang lo nggak tahu tentang dia." Mas Akmal membelokkan mobilnya ke pintu gerbang kampus tempatku menimba ilmu. "Hem, mumpung dia mau mampir ke rumah, gimana kalau lo mencoba menghilangkan nilai negatif yang ada di kepala lo itu, dengan cara lebih mengenal dia. Gue bantuin, deh."

Aku shock saudara-saudara. Apa Mas Akmal sedang bercanda? Berkenalan dengan Herder gila? Sama saja menceburkan diri ke kandang Kuda Nil.

"Nggak! Nggak usah, terima kasih. Saya masih sayang nyawa saya." Segera ku tolak tawaran gila Mas Akmal. Apa karsna terlalu lama di Papua membuat otak kakak ku itu meletus? Kemana pikiran warasnya selama ini?

"Hahaha. Gue cuka menawarkan aja. Nggak memaksa." Mas Akmal menghentikan mobilnya di depan gedung Fakultas Pendidikan.

Aku memberengut sebal. "Nggak, gue masih waras untuk menyakiti diri sendiri." Ketusku. Ku raih tangan Mas Akmal untuk menciuk punggung tangannya. "Minta jajan!" Aku menodongkan tanganku di depan wajahnya dengan wajah tanpa dosa.

"Lah, bukannya minggu lalu udah gue transfer, ya?" Mas Akmal menataoku heran.

"Udah abis, buat beli dua belas ribu gem (sejenis diamond) COC (Clash of Clans)." Jawabku tanpa merasa berdosa sama sekali.

Mulut Mas Akmal menganga, "Uang sebanyak itu cuna buat beli gem COC?" Tanyanya tak percaya.

"Iya, hehe. Habisnya gue kesel, masa desa gue diserang terus sedangkan gue lagi ngebangun. Kan annoying banget. Harta benda gue di rampas, terus gimana cara gue ningkatin Town Hall tanpa harta benda?"

Mas Akmal menepuk jidat. "Nggak ada! Salah siapa dihabisin buat beli yang nggak penting kayak gitu."

Wajahku semakin tertekuk, "Terus nanti gue mau makan apa di kantin? Lo tega liat adik lo kelaparan? Udah jomblo, ngenes, kelaparan lagi." Teriakku histeris.

"Aish!" Mas Akmal menutup telinganya. "Iya-iya, nih." Mas Akmal mengeluarkan dompetnya. Diambilnya selembar uang berwarna merah, lalu meletakkannya di tanganku.

"Gila! Cuma sepuluh ribu? Gue udah kuliah bambang. Masa uang jajan cuka sepuluh rebu. Sepuluh ribu buat beli esteh sama gorengan udah habis." Protesku.

"Ya, salah siapa lo menghambur-hamburkan fulus yang lo punya. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Udah ah, sono gih masuk! Oya, jangan lupa, sepuluh ribu itu buat seminggu." Mataku melebar sempurna. Sepuluh ribu? Untuk seminggu?

"Lah-"

Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, kakak terkampretku itu sudah menendangku dari mobilnya. Tak tanggung-tanggung, doi langsung saja pergi meninggalkanku tanpa meminta maaf sebelumnya. Jangankan minta maaf, merasa bersalah saja mungkin tidak.

•~♡~•

Ngebosenin ya? Haha...
Nikmati aja dulu.
Kita pelan-pelan masuk ke ceritanya aja. Pelan, tapi pasti. Biar pesan dari cerita ini lebih mudah masuk ke pembaca

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang