TUELEV

10.9K 874 47
                                    

"Si Herder?"

"Aduh!" Aku berteriak kesakitan. Tanganku seketika memegang erat jempol kakiku yang berdenyut nyeri akibat keganasan Mas Akmal. Tak tanggung-tanggung, lelaki itu menginjak jempol kakiku dengan kakinya yang terbungkus sepatu kets warna putih.

"Herder?" Tubuhku langsung menegak saat menyadari kebodohanku. Aku meringis pelan, antara menahan sakit atau karena menyadari betapa nyinyirnya bibirku. Aku menatap Mas Akmal dengan pandangan meminta tolong, namun, lelaki itu justru malah membalasku dengan pandangan meremehkan.

"Siapa Herder?"

Aku seketika menatap tajam Mas Akmal. 'Mas, ban-tu-in.' Bisikku dengan wajah memelas. Mas Akmal yang kutatap malah balik menatapku dengan cengiran bodohnya.

"Lo. Linda bilang kalau lo mirip Herder." Mataku melotot sempurna kala mulut ember Mas Akmal itu terbuka. Aku meringis pelan sembari menatap melas Mas Akmal. Namun, Mas Akmal yang ku tatap malah nampak tak perduli.

"Gue mirip Herder?" Tanya Pak Rama seakan memastikan apa yang baru saja ia dengar. Nyaliku semakin ciut kala Mas Akmal mengangguk dalam sebagai jawaban akan pertanyaan Pak Rama.

"Linda..." tubuhki seketika menegak mendengar namaku dipanggil oleh Pak Rama. Bulu kudukku tak mau ketinggalan menunjukkan kehebatannya. Aku menggigil pelan meratapi nasibku. Aku yakin sekali, kali ini Pak Rama tak akan memaafkanku.

Aku membalikkan tubuh dengan gerakan pelan. "I-iya, pak?" Mataku tak berani menatap langsung wajah Pak Rama. Alhasil, kepalaku hanya bisa menunduk menatap lantai keramik yang seketika mendingin.

"Saya mirip Herder?" Aku meneguk ludah susah payah. Tubuhku sudah panas dingin sejak tadi karena aura dingin yang selalu Pak Rama tebarkan. Namun, kali ini aura dingin itu terasa lebih dingin dan mencekam.

"Saya mirip Herder?" Ulangnya. Bahuku seketika merosot kebawah.

"I-itu, Pak-" lidahku langsung tercekat kala mendengar cekikikan dari arah balik tubuhku. Tanpa perlu menengok pun aku tahu siapa pembuat onarnya. Mungkin jika aku lupa bahwa Mas Akmal adalah kakakku, ku pastikan umurnya tak akan mencapai 27 tahun ini. Sudah ember, bikin masalah, masih bisa cekikikan pula. Lihat saja nanti, tangan yang lentik ini akan mendarat manis di punggungnya berkali-kali. Camkan itu.

"G-gue nggak ikut campur ya. Bye." Masih sambil tertawa, Mas Akmal malah pergi meninggalkanku. Sebagai seorang kakak, tega sekali dia meninggalkanku sendirian bersama jelaman Herder satu ini. Ck, memang benar-benar nggak ada akhlaq.

"Linda..." panggilnya dengan suara rendah-yang malah membuat suasana terasa semakin mencekam.

"Eh, iya, pak. Anu-" jantungku berdetak semakin cepat seiring dengan suaraku yang mulai menciut. Bagaimanapun juga, Pak Rama adalah salah satu dari sekian banyak dosen killer di kampusku. Terlebih lagi, Pak Rama adalah tipe dosen pelit nilai. Salah sedikit saja bisa terancam mengulang disemester depan.

"Ma-maafin saya pak. Itu- saya nggak bermasud begitu. Tadi Mas Akmal itu-" kalimatku terhenti. Rasanya, semakin aku mencoba membela maka akan semakin sia-sia usaha yang kulakukan. Mengingat Pak Rama tidaj suka dengan keribetan, jadi aku lebih memilih untuk diam saja. "Saya siap menerima apapun konsekuensinya, asalkan jangan IPK saya yang jadi taruhannya, Pak. Saya nggak mau ngulang semester depan." Ucapku lesu.

Lama Pak Rama diam. Sepertinya ia sama sekali tak ada minat untuk mendengar ocahanku. 'Sekali salah ya salah', mungkin seperti itulah bagaimana cara kerja Pak Rama. Lelaki itu sama sekali tak akan mentolerir kesalahan walau sekecil upil badakpun.

Aku menghembuskan nafas pasrah. "Yaudahlah, Pak. Saya siap ngulang semester depan." Kupalingkan wajahku saat sadar bahwa aku terlalu menatap Pak Rama. Ku akui, sebagai manusia pribumi asli, wajah Pak Rama lumayan juga. Wajah kalem ala Mas-Mas Jawa dengan senyum manis nan lemah lembut. "Pak Rama itu asli dari Solo loh." Aku langsung teringat pada ucapan Ana kemarin. Aku seketika membayangkan senyum manis nan hangat milik Mas-Mas asli Solo. Aih, gulali ataupun permen pasti akan kalah manis. Dan, yang oaling membuatku lumer adalah saat kalimat "Dalem, dek." yang terlontar saat nama mereka dipanggil. Membayangkannya saja mampu membuat hatiku berbunga.

Tapi, tunggu dulu! Membayangkan Pak Rama dengan sifat seperti apa yang kubayangkan tadi membuatku bergidik ngeri. Pembawaannya yang dingin sangat tidak cocok dengan karakter manis Mas-mas jawa. Yah, walaupun Pak Rama memang asli jawa.

"Kamu sehat?"

Kepalaku seketika mendongak. "Eh?"

"Kenapa bicaranya ngelantur?" Tanyanya.

"Maksudnya?"

"Apa karena ucapan saya minggu lalu yang kelewatan?"

"Hah? Maksudnya bagaimana pak?" Jujur, aku tak tahu apa yang lelaki itu maksudkan. Kenapa mendadak berubah seperti ini, heh?

"Bicara saya kelewatan, ya." Pak Rama menghembuskan nafas berat hingga terdengar ditelingaku.

"Bicara yang mana sih, pak?" Aku semakin dibuat bingung olehnya.

Pak Rama menyugar rambutnya, "Omongan saya pas di depan ruang dosen. Pas saya bilang saya suka kamu itu loh. Terus saya niat mau seriusin kamu. Tapi kamunya nggak percaya. Terus saya bilang kalau saya mau jadi tempat bersandar kamu." Senyum Pak Rana tersimpul sekilas. "Bicara saya kelewatan ya, sampai bikin otak kamu geser?"

Aku melongo sempurna. Sejujurnya, aku tersipu saat Pak Rama mengungkit-ungkit pembicaraan kami kemarin secara gamblang, minus kalimat terakhirnya. Beberapa kali pertemuan kami membuatku paham sedikit memahami sifat Pak Rama. Pak Rama yang akan menerbangkanmu ke awan, lalu menghempaskanmu saat kebaperan.

"Ya, 'kan saya merasa bersalah, bapak." Ucapku sambil mewanti-wanti diri sendiri agar tak cepat terbakar emosi.

"Oh, merasa bersalah." Pak Rama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baguslah. Orang harus tahu batasan diri. Harus punya malu. Nggak kayak kamu. Menghina orang seenaknya. Apalagi saya dosen kamu sekaligus calon suami kamu. Belum nikah aja sudah berani menghina, apalagi kalau sudah menikah. Ck, mau jadi istri durhaka kamu?"

Aku menatap Pak Rama malas. Baiklah saudara-saudara, sesi ceramah yang akan disampaikan oleh Bapak Rama Gumilat sudah dimulai. Kami harap anda dapat menyimak baik-baik apa yang beliau sampaikan. Jika tidak, ya terserah anda sih. Yang terpenting saya tidak mau menanggung akibatnya kalau Pak Rama murka.

"Kamu seharusnya bisa memposisikan diri, mana yang boleh diucapkan, dan mana yang tidak. Kamu itu wanita, yang kelak melahirkan generasi-generasi penerus bangsa. Semestinya kamu sudah pahan dan khatam perihal seperti ini. Wanita Iku Kusuma Wicitra, tahu artinya tidak? Kalau tidak tahu silahkan cari di pepak bahasa jawa."

"Wanita itu mulia, bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun orang lain. Wanita jugalah tolak ukur keberhasilan generasi mendatang, karena wanita adalah sekolah pertama bagi anaknya."

"Yaelah, Pak. Saya nikah aja belum, udah mikir sampai anak. Kejauhan." Potongku.

Pak Rama menatapku tak suka. Mungkin karena diriku yang lancang memotong ucapannya. "Makanya saya datang kesini buat ngajak kamu nikah secepatnya. Setelah itu kita bikin anak  yang banyak agar bisa berguna untuk bangsa dan negara."

👉😭👈

(Wanita Iku Kusuma Wicitra - Wanita itu harum untuk dirinya, berbuat baik bagi diri sendiri, keluarga, sesama manusia, makhluk hidup dan seluruh dunia)

Next?

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang