FOR

14.5K 954 7
                                    

No matter how hard I'm lying on myself, Heart will never be able to cheat.

~L.R~

🐐🐐🐐

"Saya cukupkan sampai di sini," Aku bernafas lega kala mendengar kalimat penutup dari Prof Wahyu, dosen Biologi Molekuler menutup sesi pembelajaran. Aku meregangkan tubuhku kala merasakan pegal luar biasa. Tiga jam berkutat dengan DNA, RNA, sintesis protein dan sejenisnya membuatku stress luar biasa, di tambah lagi Pak Dosen satu itu mampu membuat jantungku berlari. Bagaimana tidak? Beliau sepertinya memiliki mata di mana-mana.

"Terakhir, saya mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal kepada kalian semua." Aku mengernyit heran, menatap raut wajah Pak Arthar yang kelihatan sedih namun di sisi lain terlihat lega.

"Saya sangat merasa senang dikala saya mampuenyelesaikan tugas saya sebagai seorang dosen di sini." Jangan bilang Pak Arthar akan pensiun. Huah! Tak tergambarkan betapa senangnya hatiku kali ini.

"Saya berpesan semoga kalian semua menjadi mahasiswa teladan, bukan telatan." Mata Pak Arthar menatapku tajam. Haish! Di saat seperti ini, mata tajam itu masih bisa menatapku tajam ternyata.

Setelah Pak Arthar merampungkan kalimatnya, beliau pamit undur diri dari kelas. Beberapa mahasiswa kesayangan Pak Arthar sepertinya memberi sedikit bingkisan. Terlihat dari beberapa dari mereka mengerubungi Pak Arthar sembari menitikkan air mata. Alah! Lebay.

Aku segera mengemasi buku-buku ku yang bahkan sama sekali belum ku buka sejak tiga jam lalu.

"Woi, Lin!" Aku membalikkam tubuhku kala mendengar seseorang memanggil namaku.

"Paan? Gue sibuk." Ucapku acuh.

"Lebay, lo. PS yok!" Lelaki di hadapanku itu memukulku dengan modul tebalnya.

"Asam ya lo, sakit woe." Aku memberengut sebal.

"Hahaha, maap deh." Lelaki itu mengusap pelan kepalaku.

"Hah?" Aku melongo. Demi apapun, hatiku bergetar saat itu juga. Perlakuan yang Arsa berikan mampu membuat hatiku meradang seketika.

"Udah, ayok. Gue habis beli PS baru. Lo harus nemenin gue main PS." Arsa mendorong tas gendongku. Ia menuntunku menuju mobilnya yang terparkir di halaman kampus.

"Seatbelt." Ingatnya saat baru saja memasuki mobil.

"Iya, bawel amat." Aku memutar bola mata malas.

"Lah, abisnya lo kelupaan mulu. Apa perlu gue yang masangin seatbeltnya?" Tawarnya dengan alis yang di naik-turunkan.

Aku bergidik ngeri, segera ku tolak tawarannya itu. Udah sinting dia, batinku.

"Ngomong-ngomong nih, ada apa sampai lo ngajak gue PS? Pasti ada sesuatu." Selidikku. Pasalnya, Arsa selalu mengajakku bermain PS hanya jika ia membutuhkan teman 'curhat' untuk kegundahan hatinya. Mengingat fakta itu membuat hatiku nyeri. Hanya menjadi pelarian di saat di butuhkan pasti nggak enak, kan?

"Correct!" Ia menjentikkan jarinya. "Gue butuh lo." Lanjutnya.

Aku menghembuskan nafas lelah. Badanku lemas seketika. Sudah ku tebak, aku hanya jadi pelarian. "Lo berantem lagi sama Luna?"

"He'em." Ia mengangguk dalam. Lelaki itu memutar kemudinya lalu berbelok menuju salah satu kedai cake shop. "Gue mau beli cemilan dulu. Lo diem aja di sini, jangan kemana-mana." Ucapnya. Detik berikutnya lelaki itu sudah menghilang dari hadapanku.

Aku menyandarkan kepalaku pada sandaran mobil. Sambil memejamkan mata, aku mencoba merasakan detak jantungku kali ini. Sama, detakan itu masih sama. Persis sekali seperti detakan pertama enam tahun lalu. Aku tersenyum sekilas kala mengingat pertemuan pertamaku dengannya. Lelaki itu, lelaki pertama yang mampu membuat hatiku jatuh sejatuhnya. Lelaki pertama yang memilih mempercayaiku kala semua orang menghianatiku. Lelaki pertama yang menggenggamku erat kala semua orang memutus untuk melepas. Dia... lelali pertama yang berhasil merebut posisi pertama di hatiku.

Tapi...

Kenyataan bahwa kami hanya sebatas sahabat menamparku pada realita. Kenyataan bahwa Arsa hanya menganggapku sebagai pelarian semata dengan selubung 'teman curhat' membuatku meringis kesakitan.

Memang benar kata orang, laki-laki dan perempuan tak akan pernah bisa bersahabat, kecuali salah satu di antara mereka memendam rasa. Aku membenarkan kalimat itu. Apa yang ku rasakan kali ini mampu mewakili semua 'kata orang' perihal hubungan lawan jenis. Aku mengusap wajahku kasar. Ternyata bisa sesakit ini kala merasakan cinta berat sebelah.

Klek!

Aku menatap kursi sebelahku. Disana, Arsa sudah kembali dengan dua kantong penuh snack ringan di kedua tangannya.

"Hari ini gue lagi pengen bersikap bodo amat sama segalanya." Jawabnya seakan-akan mengerti arah berfikirku.

"Sedesperate apa sih lo sampai kayak gini?" Aku terkikik geli mencoba mengenyahkan rasa nyeri yang semakin menjadi.

"Level akut." Jawabnya dengan dengusan. Arsa melajukan mobilnya kembali.

"Emangnya ada apa?" Tanyaku berusaha bersikap biasa saja.

"Luna minta gue buat jauhin dia." Ucapnya lesu. Nampak sekali raut kekecewaan di wajahnya.

"Kenapa?" Aku mencoba tersenyum hangat.

"Nggak tahu. Tiba-tiba aja dia minta kita berjarak. Kemarin Luna juga habis jalan sama Dito. Makan, nonton, bahkan Luna mempersilahkan Dito buat mampir ke rumahnya, Lin." Cerocosnya. "Gue aja, yang udah kenal Linda dari jaman kelas dua SMA sama sekali nggak pernah di notice sama dia." Emangnya lo pernah sekalipun notice gue?

"Apa karena kelakuan nakal gue pas SMA bikin dia ilfeel?" Arsa menatapku dengan mata berkaca. Sejujurnya, aku tak kuasa melihatnya lagi-lagi berada di titik terendahnya. "Gue tau, dulu gue sering deketin banyak cewek. Tapi itu dulu, Lin. Gue sebangsat itu ya sampai Luna minta gue buat berjarak?" Apa gue serendah itu sampai-sampai lo nggak pernah menyadari kehadiran gue?

Aku memejamkan mata kala rasa nyeri berhasil menguasai hatiku sepenuhnya. Sakit di hatiku berhasil memalingkanku dari curhatan Arsa sesaat. Lagi dan lagi, aku harus di paksa menjadi pihak ketiga yang siap bertempur tanpa memeliki persediaan amunisi.

"Gue sayang sama Luna, Lin." Kalimat terakhir Arsa mampu menarikku agar kembali pada kenyataan. Hei! Bahkan Arsa udah dengan jelas menekankan kalau lo sama sekali nggak ada di hatinya, lalu apa lagi yang lo harapkan sih?

"Gue tau."

Dan tolong, cobalah mengerti posisiku kali ini.

🐐🐐🐐

Next?

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang