Waktu berlalu begitu cepat. Banyak hal terlewat, banyak kesempatan hilang, dan banyak air mata berlomba-lomba untuk terjun.
☺☺☺
Percayalah, berpura-pura baik-baik saja itu melelahkan. Capek hati, capek fikiran, capek fisik. Sama seperti yang menimpa diriku saat ini. Belum ada setengah jam turun dari pesawat, aku sudah tepar duluan. Perut bergejolak dengan pandangan buram langsung menyambutku kala keluar dari bandara. Mungkin karena jetlag setelah penerbangan selama belasan jam hingga membuatku tepar seperti ini. Kalau kata anak gen z, aku seperti wong ndeso yang belum pernah naik pesawat sebelumnya. Tapi yasudahlah, entah memang benar karena jetlag setelah terbang belasan jam, atau karena... lelaki itu.
Lelaki yang berjalan ke arahku dengan membawa 2 cup minuman ditangannya.
Entah benar atau tidak, tapi aku menduga bahwa lelaki itulah penyebab rasa mual dan pusingku. Mungkin karena diriku yang belum siap sepenuhnya bertemu dengan Pak Rama hingga menyebabkan reaksi penolakan dari tubuhku. Sebelumnya, saat turun dari pesawatpun aku baik-baik saja, sama sekali tak merasa mual atau ingin pingsan. Tapi ketika lelaki itu tiba-tiba muncul dihadapanku-saat pikiranku tengah berperang karenanya-jantungku langsung stuck ditempat. Pikiranku rasanya ngelag sesaat, seperti kesulitan mencerna apa yang tengah terjadi. Pun saat aku sudah bisa memahami apa yang sedang terjadi, serangan penolakan dari tubuhku malah datang. Alhasil, disinilah aku. Bersandar pada jok mobil dalam keadaan tubuh lemas dan wajah pucat. Namun itu hanya sebatas asumsiku saja. Mengenai benar atau tidak, aku tidak tahu.
Sudahlah, aku terlalu pusing memikirkannya. Bukannya mereda, kini malah pandanganku tertuju padanya. Mataku menatap gelisah pada sosok pria yang berjalan dikejauhan. Lelaki itu baru saja keluar dari toko roti dengan membawa sekotak roti dan dua cup minuman. Entah apa yang menarik dari sisi pria itu, tapi mataku seakan tak mau lepas dari dirinya. Aku terus saja menatapnya hingga ia berdiri disampingku. Saat ia mengetuk kaca mobil, barulah aku tersadar. Sedikit menggelengkan kepala untuk menyadarkan pikiran, aku lalu menurunkan kaca mobil. "Apa?" Tanyaku saat netraku menatap jelas wajah pria itu.
"Buat kamu." Ucapnya diiringi senyum lebar.
Satu hal yang baru kusadari, mengapa aku bisa terlalu terpaku pada pria itu tadi, tak lain dan tak bukan adalah karena kehadirannya yang selama ini kurindukan. Setelah sekian purnama aku tak melihat senyum lebarnya, kini aku bisa memuaskan hatiku. Senyumnya, perhatian manisnya, dan kehadirannya yang membuat jantungku meledak.
Lihat! Bahkan dalam waktu 10 menit kami bertemu, lelaki itu bisa membuatku kembali bersemi.
Tapi-tapi, tunggu dulu! Bukankah sebelumnya kamu sudah memutuskan untuk moving on, Linda?
Ah, benar juga. Rencana itu. Rencana untuk melepaskan segalanya, termasuk Pak Rama.
Aku menerima uluran tangannya dengan perasaan kelu. Sedikit kecewa dan patah hati. Tapi tak apa. Bukankah konsekuensinya akan sepahit ini jika ingin melupakan? Jadi, apapun itu harus kuterima. Aku tak boleh mengganggunya lagi. Pak Rama berhak bahagia dengan pilihannya dan aku berhak bahagia dengan pilihanku.
"Mau makan dulu?" Kepalaku menengok, menatap Pak Rama yang sudah duduk dibangku kemudi. Tangannya sibuk memasang seatbelt. "Kamu pucet banget, loh. Mau makan dulu?" Ulangnya.
Aku menghela nafas panjang. Sedikit tak terima dengan perhatian kecilnya. Yang baru saja dikatakannya boleh kuanggap sebagai perhatian, kan? Cih, dia tak tahu saja aku sampai menahan mual dan pingsan hanya karena bertemu dengannya. Lalu mengapa lelaki itu terus saja menyudutkanku dengan memberikan perhatian-perhatian kecil? Kalau begini caranya, aku nggak akan pernah bisa move on, dong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Harus Bapak? (END)
De TodoDosen - Mahasiswa series. Humor - Romance - Spiritual - Perjodohan Dua sosok manusia dengan rahasia kelam masa lalu harus dipertemukan karena keadaan. Keadaan yang membuat mereka 'dipaksa' mengikat komitmen suci yang tak pernah dibayangkan sebelumny...