EIT TIN

6.2K 655 23
                                    

Letter start with a, b, c
Number start with 1, 2, 3
So, can love start with you and me?

🐦🐦🐦

"Udah jam berapa ini Lin? Dan lo? Lo baru datang, heh?" Telingaku seketika berdenging saat memasuki ruang kelas. Ana dengan setelan rempongnya dan teriakan rock n roll-nya menyambutku dengan hangat. Saking hangatnya hingga membuat telingaku berdenging.

Aku meringis sebentar sebelum membalas teriakannya. "Berisik lo." Seruku sambil mendorongnya pelan. "Minggir, gue mau duduk."

"Eit, tunggu dulu." Aku yang hendak melangkahkan kaki akhirnya mengurungkan niatku. Ana, wanita itu langsung mencegatku dengan merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Apaan lagi?" Seruku tak sabar.

Ana mendekatkan wajahnya padaku, matanya nampak menyipit, bola matanya bergerak menelisik area wajahku. "Lo-" Aku menahan nafasku. Ana, wanita satu itu seperti cenayang. Dia pintar sekali menebak perasaan dan membaca raut muka. Seharusnya wanita itu memilih prodi Psikologi, namun entah kesambet jon dari mana, cecunguk satu itu malah nyungsep di prodi Biologi.

"Kenapa lo gugup?" Lanjutnya. Nah, persis seperti apa yang ku katakan tadi. Wanita itu terlalu peka dengan keadaan sekitar hingga membuatku parno.

"Hah?" Aku menghembuskan nafas sedikit demi sedikit agar Ana tak tahu.

"Kenapa lo nahan napas?" Tanyanya.

"Gu-"

"Nggak biasanya lo kayak gini."

"Ini kenapa tangan lo dibalut?"

"Ada apa?"

"Ada kejadian apa?" Cecarnya.

Aku mendengus geli. "Nggak ada apa-apa." Jawabku dengan senyum simpul.

"Bohong." Matanya menatap tajam tepat pada manik mataku. "Nggak biasanya lo bohong. Cepat! Cerita ke gue!" Kedua tangan Ana beralih menggenggam erat bahuku. Matanya kembali menyipit, mencoba mengintimidasiku. Namun, bukannya merasa terintimidasi, aku malah ingin tertawa. Matanya yang memang sudah sipit sejak lahir sangat tidak cocok dengan apa yang ia lakukan sekarang. Ia malah terlihat seperti sedang memejamkan mata.

"Nggak ada apa-apa, Na. Udah minggir! Gue mau duduk." Aku menurunkan tangan Ana yang masih bertengger di bahuku.

Ana melipat kedua tangannya ke depan dada. "Noh, udah gue jagain tempat duduk di sebelah gue, khusus buat lo."

"Mana?" Aku mengedarkan pandangan meneliti setiap bangku kosong yang ada. Hanya terdapat 3 bangku kosong yang tersisa, satu terletak di tengah baris kedua dari depan, dan dua yang lainnya berada di pojok belakang kelas dekat dengan pintu keluar.

"Itu," Ana menunjuk bangku yang terletak di baris depan.

Aku berdecak, "Kenapa di depan? Tumben lo mau duduk di depan. Biasanya selalu di belakang."

Ana menghembuskan nafas kesal. "Hei! Lo lupa atau gimana sih? Ini kan jamnya Pak Rama. Ya, so pasti gue harus duduk di depan. Secara yang jadi dosen gue itu kembaran Shawn Mendes."

"Oh iya, ini jamnya Pak Rama ya." Cicitku pelan. Mendengar nama Pak Rama membuat ingatanku kembali melayang pada peristiwa sepuluh menit yang lalu, saat lelaki itu menyelamatkanku dari kerumunan kaum kepo-ers.

"Pak, ini dimana?" Aku menarik sedikit ujung kemeja bagian belakang yang Pak Rama pakai. Lelaki itu sejak tadi hanya menggeretku agar mengikutinya, tapi ia sama sekali tak memberi tahu kemana ia akan membawaku pergi.

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang