TWENTI WAN

5.7K 599 58
                                    

"Pintaku bertingkat, tapi sujudku terlalu cepat."

🐢🐢🐢

"Menemui ayahmu. Kita nikah sekarang juga."

"Hah?" Aku semakin terbelalak dibuatnya. Lelaki itu sepertinya tak main-main dengan ucapannya.

"Ayo!" Ia masih bertahan pada posisinya. Mata elangnya menatapku congkak, seakan menantangku dengan kata-katanya. "Ayo, katanya kamu minta dihalalin dulu agar saya bisa mengontrol kamu." lanjutnya dibumbui senyum miring yang tampak menyebalkan.

Rasa panik langsung menyergapku, membungkamku hingga aku kesulitan bernafas. "Ma-maksud saya bukan seperti itu, Pak."

"Lalu, maksud seperti apa yang anda inginkan, calon Nyonya Gumilar?" Senyum miring lelaki itu semakin lebar saat tiba diakhir kalimat. Senyum miring itu membuat wajah tengil dosen sialan itu menjadi sepuluh kali lebih menyeramkan dari biasanya. Wajahnya yang memang sudah murni menyeramkan nampak semakin horror jika dihiasi senyum sialan itu. Lelaki itu nampak seperti psikopat gila yang sering muncul di film-film atau komik horror milik Mas Akmal. Wajahnya, alisnya, bentuk mata, bahkan hingga garis wajahnya terpatri jelas sesuai dengan khayalanku akan manusia haus darah itu.

Aku menelan ludah susah payah, "Mohon maaf, bapak. Sa-saya hanya asal ngomong tadi." Kali ini aku lebih memilih untuk mengalah saja, jika tidak, dosen sialan itu akan benar-benar menyeretku ke hadapan laki-laki berengsek itu. Bagaimanapun juga, nyawa dan keselamatanku kali ini lebih penting dari apapun.

Kedua alis Pak Rama menukik, "Cih, penakut."

Aku melirik Pak Rama sinis. Penakut katanya? Cih, tidak pernah ada kata 'takut' dalam kamus bahasa Linda. "Penakut?" Sinisku.

"Iya. Kenapa?" Tanya lelaki itu balik.

Aku mendengus kesal sebelum menjawab pertanyaannya. "Nggak pernah ada sedikitpun rasa takut di hati saya, pak."

"Oh ya?" Mata Pak Rama menyipit menatapku. Lelaki itu menatapku sedikit lebih lama kali ini. "Lalu, kenapa dua minggu lalu kamu sembunyi dibalik jas saya?"

Aku seketika terpaku di tempat. "Hah?" Otakku seakan membeku. Sialan! Aku tak menyangka lelaki itu akan menyinggung peristiwa dua minggu lalu. Kali ini aku menyadari, otak jenius milik lelaki itu memang ampuh jika dibandingkan dengan otak kadalku.

"Udah penakut, tolol lagi." Pak Rama menatapku dengan tatapan mengejek. "Saya jadi kasihan sama kamu. Pantas kamu jomblo," tanpa meminta persetujuanku, lelaki itu langsung menyerobot tas selempang yang ku geletakkan di atas tikar, lalu membawanya pergi.

"Pak, tas saya!" Aku terpaksa mengikuti langkahnya. Sangat tidak mungkin aku membiarkan lelaki itu merampas tasku begitu saja.

"Kalau mau tas kamu kembali, ambil sendiri!" Aku mendengus kesal. Apakah lelaki itu bercanda? Mana mungkin aku bisa mengambil tasku dengan mudah jika lelaki itu malah memeluk tasku di lengan besarnya. Mau tak mau aku harus mengikutinya kemanapun lelaki itu pergi.

"Pak, tas saya," aku mencoba menyejajarkan langkahku dengan langkah Pak Rama. Postur tubuh tinggi dengan kaki jenjangnya memudahkan sangat memudahkan ia dalam berjalan, namun akan sangat merepotkanku jika kami berjalan beriringan.

"Diam!" Aku langsung memalingkan wajah saat mendengar bentakan. Bentakannya mampu menggetarkan sekujur tubuhku. Bukan hanya kakiku saja yang tak siap, tapi jantungku pun ikut mengiringi. Aku sudah mirip seperti kacung dengan penampilan lusuh yang selali setia mengikuti kemanapun tuannya pergi.

Hingga tak terasa lima menit sudah kami berjalan. Aku memandang heran pada pemandangan di depanku, juga pada Pak Rama yang kini berdiri di sebelahku. "Toko buku?" Aku menatap wajahnya meminta kejelasan.

Kenapa Harus Bapak? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang