Hai~ Saya update lagi. Jarang-jarang kan ya saya ngomong di depan :v
Ya, sebenarnya ini untuk ralat di chapter sebelum. Part yang Matt bilang "ibu mu" itu harusnya "ibu ku" Kalau masih bingung, intinya Lily itu ibu Matt.
Maaf kan saya yang typo...
==========================Perempuan itu menyerang mereka tanpa ampun. Aku bisa melihatnya. Dengan cepat dan kejam, Alice terus menyerang mereka bahkan meskipun mereka menunjukan ekspresi ketakutannya.
Darah menari kesana kemari dan sedikit menciprati wajahnya. Tapi Alice tidak peduli. Dia terus menyerang mereka tanpa ampun dan yang membuat ku tidak percaya adalah ekspresinya yang sedingin malam ini.
"Pejamkan mata mu Matt," katanya datar padaku. Lalu tepat di depan mata ku, dia menyerang orang yang menyekapku dengan mudahnya dan orang itu ambruk. Matanya yang berkilat mengerikan menatap ku sesaat tadi seolah menunjukan kalau itu adalah dirinya yang sesungguhnya.
Kutatap orang yang diserang Alice tadi. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana.
Perempuan yang selama ini ku kagumi telah membunuh mereka dengan mudahnya. Seolah itu adalah hal biasa.
Kutatap matanya yang entah sejak kapan menjadi merah. Mata itu kosong, hanya ada sorot kejam di sana.
Aku tidak bisa terima kalau orang yang aku kagumi selama ini adalah pembunuh, meskipun dari awal aku tahu itu. Rasanya seperti menolak takdir.
Aku tidak terima.
Aku tidak terima.
Aku tidak terima.
"Apa... apa yang kau lakukan?" tanya ku dan tidak ada jawaban. Mata merah itu hanya menatap ku dingin. "APA YANG KAU LAKUKAN, ALICE?!"
*****
"APA YANG KAU LAKUKAN, ALICE?!"
Rose tidak bisa menyalahkan Matt kalau dia berteriak seperti itu. Dia sadar apa yang dia lakukan sudah kelewatan.
Perlahan, Rose mendekati laki-laki berkulit pucat yang jatuh terduduk itu. Matt masih menatapnya tidak percaya. Lalu, Rose berlutut di depan Matt dan memperhatikannya.
Berbeda dengan semua klien sebelumnya, hanya Matt yang tidak gemetar saat melihat darah. Daripada itu, Matt menatapnya penuh amarah dan jijik. Tatapan yang biasa dia dapatkan.
Rose mencoba meraih tangan Matt, tapi pemuda itu langsung menepisnya kesal dan malah menatapnya. Saat mengedipkan matanya, dia merasa softlensnya sudah tidak ada.
"Maafkan saya karena bertindak kurang ajar di hadapan anda," kata Rose penuh hormat lalu mengeluarkan sapu tangan tanpa menatap Matt sedikit pun. "Maaf, izinkan saya..." Tangannya bergerak mengusap wajah tirus Matt yang terkena darah dengan sapu tangan. Matt diam saja dan menatap Rose sedih dan tidak percaya dan dia tetap membersihkan wajah tuannya tanpa menatap matanya sedikit pun.
Tiba-tiba, Matt memgang tangan Rose dan mengarahkan tangannya pada wajah Rose. "Kau juga, bersihkan wajah mu," katanya ceria lalu tersenyum.
"Terimakasih tuan, tapi anda prioritas utama saya," balaa Rose lalu menurunkan tangan Matt dan membersihkan wajahnya sambil membelakangi Matt.
"Maaf aku membentak mu dan karena aku tidak menuruti mu..." sesal Matt dengan suara kecil.
"Jangan meminta maaf tuan, ini keslahan saya karena bertindak ceroboh," balas Rose masih tanpa menatap Matt. "Saya mohon maaf atas keteledoran saya."
Kau aneh sekarang Al...
Baru beberapa waktu yang lalu, dia masih berbicara normal dengan Alice dan sekarang perempuan dengan aura mengerikan di depannya itu berubah lebih mengerikan lagi. Matt bisa merasakan aura gelap yang menusuk di sekeliling Alice. Dia sendiri ngeri melihatnya dan lagi, tidak sedikit pun dia menatap matanya.
"Patrick, lacak tempat ku dan bereskan sesuatu di sini," kata Rose dingin pada ponselnya.
Hanya dengan nada itu, Patrick sudah tahu apa yang baru saja Rose lakukan dan kalau sudah begitu, tidak ada yang berani membantahnya.
"Aku mengerti."
"Kita kembali, tuan?" tawar Rose sambil mengulurkan tangannya tapi menghindari tatapan Matt.
Tak ada yang bisa Matt lakukan selain tersenyum dan meraih tangan Rose. "Ya, ku rasa kita harus cepat kembali."
Kemudi dikendalikan Rose selama perjalanan pulang. Dia sengaja memacu cepat mobil Matt agar tidak ada yang mengikuti mereka lagi.
Selama perjalanan pulang pula, Matt terus melihat Rose dari spion atas mobil dan berusaha agar Rose menatapnya, tapi usahanya sia-sia. Perempuan itu tetap tidak menatapnya bahkan sampai mereka tiba di rumah.
Begitu sampai, Rose juga langsung menghilang dan datang tiba-tiba dengan mata birunya sambil meneteng sebuah kotak
"Duduklah, aku akan memeriksa mu," kata Rose.
Cara bicara sudah kembali lagi
"Dengan senang hati~" kata Matt lalu duduk di sofa.
Matt terus memperhatikan Rose dan dia sadar itu. Semenjak mereka bertemu, Matt memang selalu memperhatikan semua tindakannya.
Rose mendengus pelan lalu Matt tersenyum, tahu makasud Rose.
"Dilihat dari mana pun, kamu memang cantik," puji Matt.
"Hentikan tingkah konyol mu itu," balas Rose ketus lalu menempelkan plester pada pipi Matt yang terkena cakaran jari. "Apa kamu merasa sakit di bagian lain?"
Matt tersenyum sedih. "Aku merasa sakit di sini," katanya sambil menunjuk dadanya. "Rasanya sakit sekali Al melihat perempuan seperti mu melakukan hal sekeji itu..."
"Ini sudah mejadi tugas saya, saya harap anda mengerti," jawab Rose.
"Astaga Al! Hentikan itu!" kata Matt frustasi. " Aku tidak suka ada ikatan tuan dan pelayan di sini!" Rose diam saja tidak menanggapi.
Rose mengela nafas, kalau sudah begini, dia terpaksa harus melakukannya
"Harusnya anda menutup mata tadi," kata Rose lalu tersenyum. "Anda benar-benar majikan yang keras kepala ya?" lanjutnya lalu tertawa kecil.
Dan tawa itu menjadi pengobat hati Matt
*****
"Aku sudah dengar dari Patrick, Rose."
"Hentikan rasa khawatir mu itu Jack! Aku tidak apa-apa."
"Apa Matt baik-baik saja?"
"Ya, tapi aku ceroboh kali ini. Soflens ku lepas."
"Lalu? Bagaimana?"
"Dia hanya diam. Dia bukan tipe orang yang suka blak-blakan. Lalu, apa yang membuat mu menelpon ku tengah malam ini? Kalau kau hanya mengkhawatirkan ku, aku benar-benar akan menebas kepala mu."
"Kau kejam sekali Alice~"
"Hentikan itu! Kau membuat ku kesal!"
"Oke, ini soal Matt dan aku yakin kamu akan terkejut dengan apa yang kutemukan di botol kecil yang kau berikan pada ku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rosalyn : change
Action"Tidak. Tidak ada tempat bagiku untuk kembali. Bahkan di sudut dunia yang terpencil pun." Rose selalu hidup berlumur dosa. Bau darah, suara tembakan, dan mayat yang bergelimpangan sudah menjadi kesehariannya. Hatinya telah beku seiiring ia tenggelam...