"Sudah berapa kali kukatakan? Kalau dengan seperti itu, tidak akan berhasil!"
Aku mengigit bibir, berusaha menahan tangis juga sakit disekitar tubuhku.
Sakit, sakit sekali. Kakiku tidak kuat untuk menahan tubuhku lagi. Kepalaku sakit dan pusing. Bahkan, wajah laki-laki paruh baya berbadan kekar di depanku sudah tidak jelas. Tubuhku penuh dengan luka memar dan sayatan tipis. Namun, kata-katanya yang setajam silet terus melukai hatiku.
Dan di saat seprti ini, aku ingin sekali menangis.
Namun aku terus menahannya. Kerongkonganku tercekat, aku menelan ludah agar tidak menangis. Nafasku berat, tapi aku berusaha untuk bernafas senormal mungkin. Menghirup dalam-dalam angin malam yang dingin. Bibirku mulai bergetar, bukan karena dingin, tapi tangis.
Pantaskah aku untuk menangis?
Tidak.
Disaat banyak prajuritーatau biasa kusebut temanーyang mati berperang, rasanya tidak pantas aku bersedih hanya kerena luka seperti ini.
Mereka mengalami luka yang lebih berat, yang lebih menyakitkan.
Kadang, aku memergoki salah satu diantara mereka menangis.
Wajar, mereka menyongsong maut di tengah perang ini. Mereka bisa mati setiap saat.
Kematiankah yang mereka tangisi?
Tidak.
Tapi keluarga mereka.
Nah, jadi aku tidak pantas menangis. Lagipula apa yang aku miliki? Keluarga aku tidak punya. Mungkin hanya laki-laki di depanku saat ini yang biasa kupanggil ayah. Selebihnya, aku hanya memiliki tubuh ini.
Bahkan, mungkin aku tidak memiliki apapun jika ayah tidak menyelamatkanku.
Tapi kali ini berbeda.
Ini sudah kesekian kali aku berbuat kesalahan dan tidak seperti latihan-latihan sebelumnya, kali ini parah sekali.
Aku kalah dalam latihan pertarungan jarak dekat dengan pisau.Lawanku adalah orang yang kuanggap kakak, prajurit yang paling kuat setelah ayah. Vendrick.
Usianya muda sekali. Mungkin awal dua puluhan. Namun ketangkasannya jangan ditanya. Itu yang membuatku kalah dengan nudahnya.
Ven mendekati ayah, berbisik sesuatu dengan wajah memelas. Ayah menatapku tajam. "Kita sudahi saja kali ini," katanya enggan.
Aku mengangguk. Pergi meninggalkan dua orang itu dengan lega juga kecewa.
Nah, aku harus membersihkan luka sekarang.
Semilir angin malam sungguh menyiksa tubuhku. Dingin dan sakit, sungguh kombinasi yang bagus sekali.
Dengan gontai, aku menyusuri lorong kamp utama di mana aku bisa mengobati luka ini.
Sepi, gelap, dan ehm... cukup mengerikan sebenarnya. Yah, kau tahu kan, di saat perang seperti ini, bisa saja ada orang bersembunyi lalu menyergapku diam-diam.
Tapi tinggal teriak saja kan?
Pertolongan pertama yang bagus saat kau disergap.
Setelah sampai, aku langsung membersihkan lukaku dengan air dan mengambil kotak P3K.
Kutotolkan antiseptik pada lukaku.
Sialan, rasanya perih sekali.
Setelah kuperban, aku mengambil air hangat dan mengompres luka memarku.
Pekerjaan sehari-hari. Aku biasa melakukannya sendiri saat para suster sudah tidur. Nah, masalahnya, aku tidak bisa menjangkau lukaku yang lain dengan tangan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rosalyn : change
Action"Tidak. Tidak ada tempat bagiku untuk kembali. Bahkan di sudut dunia yang terpencil pun." Rose selalu hidup berlumur dosa. Bau darah, suara tembakan, dan mayat yang bergelimpangan sudah menjadi kesehariannya. Hatinya telah beku seiiring ia tenggelam...