Jack Walcott

1.4K 129 1
                                    

Aku menyukainya dan tidak ada yang salah soal itu.

***

Aku mengalungkan handuk yang baru saja kukenakan di leherku. Melenggang begitu saja tanpa mempedulikan diriku yang hanya mengenakan celana panjang dan bertelanjang dada.

Lalu, aku mendapati gadis itu berdiri di depan cerminku.

Tatapannya yang dingin dan tajam, ekspresinya yang datar, matanya yang bulat dan bercahaya, ditambah kulitnya yang yang halus membuatnya tampak seperti boneka.

Aku mendekatinya, memegang kedua bahunya dan mendekatkan pipiku dengan pipinya.

"Kau tahu kau masuk ke mana?" bisikku.

"Kamarmu," jawabnya datar.

"Kamar laki-laki Rose..."

"Lalu?"

Gadis itu menoleh dan menatapku tajam yang kubalas dengan seringaiku.

"Kupikir kau tahu apa yang akan terjadi?" balasku.

"Kau tidak akan berani melakukannya Jack. Minggir," katanya sambil mendorongku menjauh darinya. "Kau basah dan aku baru saja mengeringkan badanku."

Aku tertawa lalu mengeringkan tubuhku. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Sudah kukatakan berkali-kali agar tidak masuk ke kamar orang terutama laki-laki dengan sembarangan."

"Aku tahu, itu tidak sopan."

"Lalu?"

"Menunggumu itu lama Jack. Aku ingin segalanya cepat selesai."

Aku kembali tertawa sambil mengambil kaos di lemari.

Khas sekali Rose...

Gadis aneh, juga cantik yang suka berbuat seenaknya sendiri. Entah dari mana sifatnya itu atau memang aku sebagai kakaknya (?) tidak bisa mendidiknya dengan baik.

Yah... karena aku sendiri tidak dididik dengan baik, mungkin.

Orang mungkin mengenalku, tapi mereka tidak benar-benar mengenalku.

Semua orang mengatakan aku mempunyai ayah yang baik, pada kenyataannya tidak. Bukan artian jahat yang menyiksa, tapi hei, orangtua mana yang membiarkan anaknya menjadi pembunuh kalau bukan ayahku?

Beliau baik, sangat baik. Memperhatikanku lebih dari apapun, menyekolahkan ku sebaik mungkin sampai di usiaku yang baru delapan belas tahun ini aku akan lulus menjadi dokter spesialis bedah, selalu menerima jika aku membutuhkannya, dan hal baik lainnya.

Hanya satu hal itu tadi yang buruk.

Ibu? Ibu adalah manusia yang hanya ada di cerita dongeng.

Sejak kecil, aku tidak mengenal ibu selain dari foto-fotonya yang menggendongku sewaktu aku berusia kurang dari dua tahun.

Alasan dia meninggal aku juga tidak tahu dan tidak berminat mencari tahu.

Kata ayah, kecerdasanku diturunkan dari ibu dan kelicikannya dari dia sendiri.

Apa aku pintar? Tidak juga. Di dunia ini ada banyak yang lebih pintar dari pada aku. Aku hanya membaca saat ayah sibuk dengan organisasinya. Aku sendiri baru belajar memegang pistol saat berusia enam tahun. Alasan lainnya adalah karena aku tidak suka terkurung di suatu tempat yang banyak peraturan. Makanya, aku berusaha secepat mungkin untuk lulus.

Setelah itu, aku bisa fokus untuk "bekerja" di TSO ini. Tentu saja, sebagai anak tunggal, ayah berharap aku bisa benar-benar meneruskan organisasi ini dengan baik dan aku pun tak ada niatan untuk menghentikannya.

Rosalyn : changeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang