Chapter 9

1.9K 152 0
                                    

Manusia itu makhluk lemah yang sok kuat.

Mereka bisa hancur hanya dengan seauatu yang sangat kecil, yang bahkan mereka tidak bisa melihatnya. Tapi mereka selalu mengatakan "Aku baik-baik saja" dengan senyum palsu mereka.

Karena itulah aku benci manusia, terutama yang sok kuat, apalagi yang berbohong.

Sambil pura-pura sibuk, Rose mengamati setiap pergerakan Matt dari kejauhan. Senyumnya yang memabukan ditambah kulit putih pucat porselan bak manekin menambah kesan tersendiri bagi para pemujanya. Hampir setiap saat dia selalu tersenyum dan tertawa. Tapi, dia juga laki-laki sopan yang tahu tata krama dibalik sifatnya yang periang meskipun kadang kelewatan jadi menyebalkan.

Itu hanya salah satu dari yang dia lihat. Hanya sebuah keriangan yang membungkus kesedihan.

Beberapa perempuan yang ada di dekatnya ikut tertawa-sampai berlebihan malah-setelah Matt mengatakan sesuatu yang tak bisa didengarnya.

Baik, sopan, periang, pintar, tampan, dan elegan. Tipe laki-laki yang disukai perempuan berbagai usia sekalipun usianya baru tujuh belas tahun.

Meskipun semua kelebihan Matt terpampang nyata di depannya, Rose tetap tidak mengerti kenapa banyak perempuan yang tergila-gila padanya.

Atau karena hatinya telah membeku?

Ya, hanya itu satu-satunya alasan kenapa dia jadi seperti ini sekarang.

Adegan pembunuhan yang mengerikan sudah dilihatnya sejak usia tiga tahun, saat dia dipungut seorang atasan angkatan perang. Bau mesiu, ledakan bom, manusia hidup dengan bersimbah darah yang tidak utuh, dan mayat yang berserakan sudah menjadi makanan sehari-harinya. Dia hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa arti dari kengerian saat itu. Yang dia tahu saat itu hanya tekad untuk hidup. Tak ada rasa takut dalam kamusnya. Ketakutan hanya menghalangi hidupnya, membuatnya menderita. Itu yang selalu diajarkan padanya sampai usia enam tahun.

Lalu, dia dipindahkan di sebuah panti asuhan dengan harapan agar Rose kecil bisa berpikir layaknya anak kecil. Tapi itu hanya bertahan dua tahun. Mr. Frans mengambilnya dari sana dan sampai sekarang dia tidak mengerti bagaimana bosnya tahu soal dirinya.

Ayah? Ibu? Saudara? Mungkin dia punya, tapi tak pernah sekalipun Rose ambil pusing soal itu. Dia lahir di medan perang, mungkin saja orang tuanya tewas dalam perang kan? Lalu, apa gunanya mencari yang tidak pasti?

Tak ada sedikit pun rasa rindu soal kasih sayang. Dia sudah membuang rasa kemanusiaannya agar tetap hidup. Baginya, sudah cukup dengan apa yang dia dapat sekarang. Dia sudah cukup senang pernah memiliki ayah angkat, Mr. Frans, dan Jack, juga uang yang banyak tentu.

Setidaknya, itu yang dia rasakan saat ini.

Karena itu, dia selalu memandang lemah seluruh manusia yang ditemuinya, temasuk Matt.

Ibunya meninggal dan menjadikannya bahan percobaan, ayahnya menyerahkan semuanya pada Matt sambil membawa adiknya pergi. Pasti rasanya sepi sekali di tengah derita yang dialaminya.

Hei, itu tidak seberapa! Rose mangalami lebih dari itu. Dia tidak tahu keluarganya, hidup di ujung kematian sejak kelahirannya dan berkali-kali dalam keadaan koma. Tapi dia tetap hidup. Tidak merasa sedih atau apa. Sebenarnya dia juga bingung kenapa dia seperti itu. Tapi, Matt sudah menjawabnya.

Rasa cinta yang membuat mereka berbeda.

Satu kata yang menjadi kekuatan utama sekaligus kelemahan utama manusia.

Makanya, Rose membuang semua perasaannya. Perasaan yang menjadikannya manusia yang beradab.

Dia bukan manusia lagi. Hanya seonggok daging yang berjalan seperti robot.

Rosalyn : changeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang