Yang pertama kali mata hijau zamrud itu dapatkan saat sampai di lokasi adalah mayat dengan luka tembak. Bukan hanya satu.
Ia jadi lebih menyiapkan pistolnya, menyiapkan kemungkinan terburuk, dan mebatin mengutuk diri, betapa bodohnya ia datang kemari sendiri.
Kakinya melangkah pelan ke dalam bangunan itu. Bau anyir darah bercampur dengan bau lembap udara membuatnya menyerengit. Ia terus melangkah hati-hati, mengikuti jejak darah korban dan pelaku. Yang ia herankan hanya satu, tempat itu begitu sepi.
Benar-benar sepi, tak rerdengar suara langkah kecuali langkahnya sendiri, ia juga tidak merasakan keberadaan orang lain. Atau mungkin dirinya yang terlalu bodoh sampai tidak sadar?
Ia takut, tentu saja. Itu hal wajar.
Namun, ia tak gentar. Pemuda itu turus melangkahkah kakinya demi mencari seseorang.
Sampai akhirnya ia melihat sebuah ruangan dengan pintu terbuka lebar.
Ia siapkan pistolnya, melekatkan diri pada tembok sambil mengatur napasnya. Dalam hitungan ketiga, ia langsung menghambur masuk keruangan itu.
Pemandangan di depannya membuatnya membatu. Kepalanya serasa disiriam air dingin sekita.
Bahkan, ia lebih memilih untuk herhadapan dengan seratus musuh dibanding melihat yang kini ada di depannya.
Seorang gadis dengan rambut pirang keemasannya yang terurai dan berkilau di bawah redupnya lampu ruangan itu tengah memeluk pemuda berkulit pucat. Gadis itu tidak mempedulikan banyaknya darah yang melekat pada tubuhnya, atau bahkan kehadiran pemuda itu.
Sekali lihatpun, ia tahu yang dipeluk gadis itu adalah mayat.
Lebih parah lagi, ia tidak peduli bahwa yang dipeluknya adalah manusia tak bernyawa.
Untuk beberapa detik, pemuda itu hanya membatu sampai akhirnya ia sadar.
"Rose!"
Pemuda itu berlari ke arah si gadis. Langsung duduk di lantai sebelah Rose dan mengguncang tubuh si gadis.
"Astaga, Rose! Rose!" teriaknya.
Si gadis hanya diam. Posisinya tak berubah sedikitpun.
"Rose! Rosalyn!"
PLAK.
Sebuah tamparan menyadarkan si gadis dari hipnotis dirinya. Kepala gadis itu terkulai, matanya membelalak kaget mendapat tamparan itu. Namun ia hanya diam, bahkan ia juga tidak memegang sakit di pipinya yang kini mempunyai bekas kemerahan.
"Dia mati..." bisik Rose datar. "Dia... Matt mati... Aku..." Jemari lentik si gadis mencengkram kuat tubuh dipelukannya. "Aku... aku lemah. Ini semua karena aku... Aku..."
Aku lemah...
***
Mata hijau itu menatap datar rumah kecil penuh kenangan dihadapannya sekarang. Ia berdiri dalam kesendirian di antara orang-orang yang berlalu lalang meneriakkan peringatan agar tidak mendekat ke bangunan itu. Beberapa orang berteriak histeris dan meminta tolong. Sementara lainnya memakai pakaian mencolok dengan selang besar di tangan mereka.
Nyala panas si jago tak menggentarkan si pemuda untuk berpindah. Ia memperhatikan tempat penuh kenangannya habis, runtuh menjadi abu. Tangannya meremas kuat kertas terakhir dari orang yang paling ia sayangi.
Pemuda itu tersenyum sedih.
Aku sudah melakukannya sesuai keinginanmu.
***
Siang itu, awan berkumpul menjadi satu, membuat gerumbulan besar hitam yang membikin sinar matahari terhalang untuk menyinari bumi. Angin bertiup lembut, namun hawa terasa cukup dingin, ditambah dengan tetesan air yang mulai membasahi tanah.
Tidak hanya turun dari langit, tetesan air itu juga turun dari mata mereka yang tengah berduka saat ini.
Ia dapat melihat dengan jelas gadis itu menangis dengan gaun hitamnya. Seorang pemuda memayunginya dengan tatapan sendu menatap nisan di hadapannya dan para pelayat satu-persatu mulai meninggalkan makam.
Tinggalah mereka berdua sendiri dan seorang pria yang hanya dapat menatap sedih tak berdaya gadis itu, bergantian dengan nisan itu. Diusapnya bahu si gadis, ia membisikkan sesuatu lalu ketiganya pergi.
Si pengamat menatap kepergian itu datar. Membiarkan dirinya basah diguyur air hujan yang dingin. Tak mempedulikan kulitnya yang berteriak kedinginan.
Lalu tanpa sadar, ia melangkah ke arah nisan itu.
Cepat sekali...
Gadis itu memejmkan matanya, tersenyum saat mendapati punggungnya ditekan dengan benda yang keras.
"Jadi?"
"Rosalyn, kau tahu kami semua melihat keanehanmu belakangan ini," kata suara yang sangat di kenalnya. Suara dalam yang ramah, namun juga dingin di saat yang beramaan. "Kau Rose, bukan Alice. Dan perasaanmu belakangan ini membuatmu lembek."
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Kau akan membunuhku kalau begitu?" tanya Rose tenang.
Gadis itu berbalik dan mendapati pemuda itu tengah menatapnya dingin. Pemuda yang menjadi sahabat, sekaligus mesin algojonya. Pistol itu mengarah tepat di jantungnya.
"Ini peringatan keras dari bos. Sekarang, belum saatnya."
"Kalau begitu, izinkan aku bertanya sesuatu padamu :
"Siapa yang lembek sebenarnya di sini?"
===========================
Fin~~~
*Tebar potongan kertas bersama Rose, Jack, dan Matt*
Akhirnya, selesai juga ini cerita. Saya ucapkan terimakasih buat para readers yang udah setia baca dari awal sampe akhir, yang memberi vote, komen, dan yang memasukkan cerita ini di reading list.
Saya juga terharu banget akhirnya bisa masang tag complete di cerita ini *ambil tisu*
Nah, mari kita move on dulu dari Rose dan saya sudah post cerita saya yang lain. Judulnya Tears of Princess.
Sekian dulu dari saya.
Terimakasih~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Rosalyn : change
Action"Tidak. Tidak ada tempat bagiku untuk kembali. Bahkan di sudut dunia yang terpencil pun." Rose selalu hidup berlumur dosa. Bau darah, suara tembakan, dan mayat yang bergelimpangan sudah menjadi kesehariannya. Hatinya telah beku seiiring ia tenggelam...