30 : Menyapa Benua

380 50 25
                                    

Beberapa alat medis terpasang di tubuh Benua, sekarang hidup Benua bergantung pada alat medis itu.  Cowok itu sudah lama menidurkan diri, berbaring di atas brankar. Terhitung sudah sepuluh hari Benua tak sadarkan diri, masih dalam keadaan komanya. Puisi yang duduk di samping brankar Benua, berulang kali menyeka air matanya yang terus jatuh. Puisi tak tega melihat Benua yang tak sadarkan diri seperti ini, cewek itu sangat cengeng sekarang.

"Benua." Panggil Puisi pelan.

Puisi menunduk, "Benua bangun yaa Puisi kangen." Cicitnya pelan.

Puisi memberanikan diri mendongak, ia meraih tangan Benua untuk ia genggam erat, ia mencium tangan dingin Benua, perasaanya menjadi sesak, kala ia mengingat setiap hari dan pertemuan antara dirinya dengan Benua, tenggorokannya tercekat, air mata Puisi terus mengalir deras membasahi pipinya.

"Tuhan Benua orang baik, tolong jangan ambil Benua secepat ini. Puisi sayang Benua." Lirihnya.

"Benua bangun." Pinta Puisi, yang tak akan mungkin di dengar oleh Benua.

Benua masih dengan tenangnya dalam memejamkan mata.

"Benua, Puisi mau es krim dari Benua, Benua beliin Puisi es krim yaa." Pintanya lirih.

Puisi menggoyangkan bahu Benua, "ayo Benua bangun! Hiks, Puisi sayang Benua, Benua gak boleh ke surga." Kata Puisi, suaranya serak. Cewek itu mengelap ingusnya sendiri.

"Kalau Benua gak ada, siapa yang akan beliin Puisi es krim! Huaaa." Puisi tambah menangis tiap kenangannya dengan Benua terputar di dalam kepalanya.

Air matanya tumpah begitu deras, mata sembabnya menatap wajah Benua dengan nanar, sekuat mungkin ia memerintah pikirannya untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak-tidak tentang Benua, namun nihil, ekspektasi buruk itu semakin jelas masuk mengkontaminasi perasaannya. Dada Puisi sesak membayangkannya. Puisi menggeleng ia tak mau melihat jasad Benua, ia tidak mau bertemu batu Nissan bertuliskan Benua. Puisi tidak siap.

"Benua harus sembuh." Ucap Puisi bergetar hebat. Air mata yang ia tahan kembali tumpah lagi.

Puisi mendekat ke arah brankar, di peluknya Benua dengan sangat erat. Ia menumpahkan tangisnya di atas dada bidang Benua.

"Jangan tinggalin Puisi. Kalau Benua gak ada, siapa yang mau dengar cerita Puisi dari A sampai Z tanpa bosan, siapa yang beliin Puisi es krim, siapa yang rela memberikan bahunya menyeka air mata Puisi saat Puisi lagi capek ngejar Nathan." Ucap Puisi tercekat. Untuk kesekian kalinya, ia menyeka air matanya.

"Benua tahu gak, Nathan bilang suka sama Puisi. Puisi seneng bangett dengarnya, Benua juga pasti senang kan?" Bibir Puisi tersenyum miris saat Benua tidak menyahut sama sekali, "sekarang Nathan mulai baik sama Puisi, Nathan juga sering kasih Puisi perhatian, Nathan gak sedingin dulu lagi."

Puisi melepaskan pelukannya, kepalanya mendongak, ia mengibaskan tangannya di dekat mata agar tidak menangis lagi. Ia harus belajar kuat. Mata dan hidung Puisi memerah, ia menatap Benua tersenyum getir, "Benua harus sembuh, pokoknya harus sembuh! Benua harus liat perjuangan Puisi untuk mendapatkan hati Nathan. Benua harus jadi saksi bisu kisah cinta Puisi." Ucap Puisi penuh harapan.

Lihatlah cara Puisi mencintai Nathan. Bahkan dalam keadaan sedih ia tetap mengingat Nathan. Sedalam itu cinta Puisi, dan sedalam itu pula patah hati Benua. Andai Benua dalam keadaan sadar pasti cowok itu akan berpura-pura tegar, berpura-pura mendukung Puisi, menyemangati Puisi untuk mendapatkan cinta Nathan.

Mencintai seseorang yang mencintai orang lain, sebuah bentuk luka yang nyata. Dan itu dialami Benua.

Langkah Puisi mendekat, memajukan wajahnya, ia mendaratkan bibirnya untuk mengecup kening Benua lama dengan mata terpejam.

Hello Jodoh!!! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang