Asvathama
Minggu ini aku dapat libur setelah hampir dua minggu week end-ku diisi oleh liputan. Sejak pagi aku sudah merapikan kost-an dari segala kekacauan dari minggu ke minggu. Tidak seperti kebanyakan orang, aku memilih untuk tidak pindah dari kost-an yang sudah ku tinggali sejak kuliah. Selain harganya masih masuk akal, tempatnya juga cukup nyaman. Berada di sebuah komplek dengan keamanan dan fasilitas yang bisa ku bilang sangat okay, ditambah dengan para tetangga kamarku yang juga 11:12 lah denganku.
Hari ini aku ada janji spesial. Menemui dua orang yang akhir-akhir ini ku rindukan. Setelah berpakaian, aku mengendari Honda Jazz hitamku, menuju tempat tujuan, setelah sebelumnya sudah sempat memesan bunga.
Saat sampai, aku tersenyum memandangnya.
"Reno Indika binti Rendra Priyathama"
Aku membaca nama yang tertulis di sebuah nisan.
"Apa kabar Ibu Reno? Anakmu datang hari ini. Yey!" Ucapku sedikit bercanda.
Ibu pergi saat aku duduk di bangku kelas 12 SMA, setelah hampir tiga tahun melawan kanker nasofaring yang menggerogoti hampir seluruh tubuhnya. Ibu adalah sosok yang selalu tersenyum semasa hidupnya. Ada satu kalimat yang ia katakan dan selalu ku ingat.
"Kalo hidupmu sulit, hanya dua hal yang bisa dilakuin. Tersenyum dan jalani aja. Karena hujan pasti akan reda walaupun pelangi nggak selalu muncul setelahnya."
Begitu katanya, jadi itu yang selalu ku lakukan selama ini. Semua yang ada memang terlalu sulit kalo aku terlalu memikirkan segalanya, jalan satu-satunya benar kata ibu, senyumin terus jalani.
"Gema Asvathama bin Takhir Asvathama."
Tertulis di samping nisan Ibu. Ayahku. Wafat dua tahun sebelum Ibu wafat. SMA kelas 10, aku resmi menyandang status "anak yatim" dan dua tahun setelahnya gelarku bertambah menjadi "yatim piatu". Menyandang status itu di usiaku yang baru genap 17 tahun, seperti kehilangan setengah dari kehidupanku. Sempat berpikir tak punya impian maupun masa depan, jangankan untuk berpikir setelah lulus SMA akan kuliah dimana. Untuk berpikir besok makan apa saja aku tak bisa.
Namun, segalanya tetap berjalan apa adanya. Aku bisa kuliah dengan bantuan beasiswa walaupun seusai kelas aku harus tetap berkerja di sebuah restaurant cepat saji dan week-end ku diisi menjadi fotografer untuk acara lamaran maupun pernikahan. Bukan karena keahlianku, namun karena keadaan yang menuntutku harus serba bisa. Uangnya? Untuk makan dan membayar kost-an. Hanya itu. Untungnya rumah Ayah dan Ibu di Bogor laku ku kontrakan. Setidaknya aku dapat passive income setiap bulan untuk menabung.
Aku datang dari keluarga yang sederhana, tanpa saudara. Aku adalah anak tunggal yang dulu adalah kebanggaan Ayah dan Ibuku, semoga sampai sekarang.
Aku tersenyum sambil membersihkan beberapa daun kering yang jatuh di makam mereka.
"Yah, Bu, Vatha sehat kok, makan Vatha juga teratur. Jangan khawatir ya, Ibu sama Ayah seneng- seneng aja disana. Kost-an Vatha naik Yah, Bu. Naik 200 ribu. Tapi tenang, gaji Vatha juga naik karena lemburan banyak. Hehe" ucapku sedikit bercanda.
"Yah, Bu, maafin ya akhir-akhir ini jarang mampir buat nengok. Banyak hal yang harus Vatha kerjain." Ucapku.
Cukup lama aku berdiam di makam Ibu dan Ayah. Menceritakan banyak kejadian dan mengirimkan banyak doa untuk mereka.
"Eh ada mas Vatha." Ucap Pak Sarto.
Pak Sarto adalah salah seorang yang biasa membersihkan makam. Kami menjadi akrab karena biasanya tiap minggu aku kesini dan bertemu dengannya.
"Pak, sehat?" Sapaku.
"Alhamdulillah." Jawabnya.
"Udah makan belum pak? Temenin saya sarapan yuk." Ajakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUERENCIA [COMPLETED]
General Fictioneveryone will find a home to stay. Querencia (n) : /kɛˈɹɛnsɪə/ The place where one's strength is drawn from; where one feels at home; the place where you are your most authentic self. #5 in media as per April 7th, 2021 #2 in News as per May 9th, 2021