Asvathama
Aku sedang berjalan menuju ruang istirahat di kantorku saat menerima notifikasi pesan dari Tere. Sekilas ku lihat isi pesannya, Namun belum sempat ku buka karena masih berbicara dengan Sakeena melalui sambungan telfon.
"Gue khawatir." Ucapku.
Sakeena terdiam beberapa saat.
"Sa?" Panggilku.
"Gue masih disini kok kak, cuma bingung aja harus timpalin apa." Jawabnya polos.
Aku tersenyum, "ya nggak usah ditimpalin. Kan gue nggak minta." Jawabku.
"Okay. Udah di kost-an?" Tanyanya.
"Lagi on the way, ruang istirahat." Ucapku.
"Lembur or tugas malem?" Tanyanya.
"Tugas malem." Jawabku.
"Oh." Ucapnya sebelum kembali terdiam.
"Sa?" Panggilku.
"Iya?" Jawabnya.
"Thank you ya." Ucapku.
"For what?" Jawabnya.
"Udah jadi Sakeena yang kuat dan sabar. Gue tau lo capek, tapi gue yakin lo juga bisa lewatin semuanya pelan-pelan. Kalo capek lo bisa istirahat sebentar, baru lari lagi. Lo hebat!" Ucapku.
"Iya kak." Jawabnya.
Suaranya sedikit tercekak. Aku tau ia menangis.
"Jangan nangis. Gue nggak bisa kesana sekarang." Ucapku.
Ia tertawa, "nggak kak, cuma ngerasa jahat banget sama diri sendiri karena selama ini terlalu memaksa." Jawabnya.
"Sampe lupa kalo lo juga manusia ya?" Tanyaku.
"Iya." Ucapnya.
Aku tersenyum, "gue ketemu diri gue sendiri kayaknya." Ucapku.
"Maksudnya?" Jawabnya.
"Nggak." Jawabku.
Percakapanku dan Sakeena terus berlanjut setelahnya, mulai dari membahas pekerjaan, kebiasaan-kebiasaan orang orang di kantor, sampai perdebatan tentang pokemon dan digimon yang tidak sedarah walaupun namanya berakhiran dengan kata yang sama‐‐ "mon".
"Beda Sa. Kalo cuma karena sama-sama "mon" berarti Doraemon juga bagian dari mereka dong?" Ucapku.
"Ya mungkin. Mungkin aja nama family mereka." Jawabnya.
Aku tertawa keras. Entah kenapa aku merasa nyaman berbicara dengannya. Rasanya sudah lama sekali aku tak mengobrol tentang hal-hal yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan atau jauh dari obrolan serius.
Senang mendengar Sakeena bisa tertawa malam ini. Aku paham bebannya tak ringan, namun aku tau dia bukan orang yang lemah. Hidup Sakeena sudah ditempa sejak kecil, mulai dari Ayahnya yang tak pernah ia liat lagi sosoknya sejak adiknya lahir, padahal ia tau Ayahnya masih sehat walafiat sampai kenyataan bahwa Bundanya mengidap kanker medulloblastoma grade 4 di dalam Cerebellum otak Bundanya saat ia masih semester tiga di perkuliahan.
"Tidur Sa. Besok Bunda pulang kan?" Tanyaku.
"Harusnya sih kak." Jawabnya.
"Pasti pulang." Ucapku.
"Terima kasih sudah menelfon." Tambahnya.
Aku tersenyum, "Sa, kepala lo kecil. Cuma seukuran tangan gue. Jadi, jangan semuanya dipikirin ya. Inget kapasitas otak manusia itu cuma 2,5 petabyte, yang mana itu merekam semua memory lo dari lo lahir. Jadi simpen memory otak lo buat hal-hal yang penting aja." Ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUERENCIA [COMPLETED]
General Fictioneveryone will find a home to stay. Querencia (n) : /kɛˈɹɛnsɪə/ The place where one's strength is drawn from; where one feels at home; the place where you are your most authentic self. #5 in media as per April 7th, 2021 #2 in News as per May 9th, 2021