Hujan lebat dengan petir menggelegar masih menyelimuti kota ini. Kota yang selalu penuh dengan kehangatan dan keramahan, seketika berubah menjadi kota mati. Semua listrik padam sesaat setelah petir dahsyat menghancurkan tiang listrik hingga tak berbentuk lagi, berbuntut pada tumbangnya pohon dan jalanan yang tak bisa dijelaskan lagi keelokannya. Semua orang seakan hilang bak ditelan bumi setelah semua kekacauan ini terjadi, tak ada satupun yang tampak oleh mata Rein yang baru saja menyadari ia terkapar di tengah jalan. Kedua maniknya aktif menjelajah apapun yang ada di sekelilingnya, berharap ia menemukan satu orang yang bisa ia ajak bicara. Tapi, semua hanya kekosongan belaka. Ia tak bisa menemukan siapapun dan pertanyaan tak masuk akal mulai memenuhi kepalanya. Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa ada di sini? Dan di mana semua orang? Ditengah kekalutannya yang tak berujung, kaki telanjangnya terus melangkah tak pasti, mencoba mencari jawaban ditengah guyuran hujan lebat. Diantara pertokoan tanpa pemiliknya, ketika ia merasakan nyeri pada kakinya dan darah yang sudah mewarnai skinny jeans miliknya. Ia terluka dan tidak tahu bagaimana ia bisa mendapatkannya. Semua masih menjadi misteri, Rein harus mencari tahu sebelum ia semakin gila karena penasaran. Jadi, ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang tertatih.
Gadis itu berhasil menyelamatkan diri dan berlindung di dalam sebuah toko perkakas. Sunyi, hal pertama yang ia rasakan sebelum langkah kaki itu terus membawanya menuju ke dalam ruangan dan menangkap setitik cahaya dari dalam. Hanya cahaya lilin namun Rein begitu senang, ia bisa menghangatkan sedikit tubuhnya yang basah kuyub dan hampir beku. Tapi tunggu! Sesuatu baru saja menahan bahunya, membuat Rein sedikit berjengit. Ada orang lain selain aku?. Baru saja ia hendak menoleh untuk memastikan siapa pemilik tangan itu, namun sebuah suara berat dan sedikit serak menahan niat Rein. "Jangan bergerak," ujarnya sehingga Rein hanya bisa menurutinya. Masih tak mengetahui siapa gerangan ketika terdengar langkah kaki yang semakin mendekat dan kini berdiri di sampingnya. Sosok laki-laki jangkung yang keadaannya tak kalah berbeda dari Rein. Beruntung penerangan saat ini terbatas sehingga gadis itu tak mendapati tatapan tajam dan menusuk dari sosok tinggi itu. Merasa atmosfer semakin tak nyaman, Rein memundurkan sedikit langkahnya dan membiarkan laki-laki itu melakukan apa yang ia inginkan. "Apa kau tahu apa yang sedang terjadi?" Rein harus bertanya karena ia tak bisa lagi menahannya. Badai di luar semakin menggila seiring tubuhnya yang semakin menggigil, nyeri pada kakinya juga semakin terasa saat kain basah celananya menjerat lukanya. Dan lihatlah! Laki-laki itu masih tak mau menjawab. Ia justru mengambil sebuah ember besi entah dari mana dan mengisinya dengan benda apapun yang mudah terbakar. Tak hanya itu, laki-laki itu lalu-lalang mengambil apapun yang bisa ia temukan dan –Boof! Api seketika membesar saat ia menjatuhkan lilin yang ia potong menjadi dua bagian ke dalam ember besi yang telah disiram dengan spirtus dan menyimpan sisanya. Kini wajahnya terlihat lebih jelas, garis rahang dan tatapan mata yang tajam, juga paras tampan yang membuat Rein terpana untuk sesaat sebelum ia kembali tersadar oleh gelegar petir dan angin kencang yang terdengar mengerikan.
Tak ada percakapan lagi, hanya gemuruh petir dan hujan yang mendominasi. Rein hanya bisa merintih menahan sakit pada pahanya yang ternyata mendapat luka cukup dalam, seperti terbeset benda tajam dan tumpul sepanjang 5 inci. Wajah pucatnya tampak jelas ketika nyala api itu membiaskan cahayanya dan laki-laki itu berjongkok di depannya. Ia dengan cukup lancang memeriksa luka Rein dan menyobek sedikit kain yang menghalangi lukanya, membebatnya dengan kain bersih yang ia temukan. "Bagaimana kau bisa terluka?" laki-laki itu bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Rein. Duarr!!! Lagi, petir itu membuat mereka terkejut ditambah dentuman cukup keras hingga menyebabkan getaran ringan. Sepertinya ada pohon yang tumbang lagi. "Kau tahu sesuatu tentang ini?" Rein kembali bertanya. "Badai, badai besar yang baru saja terjadi." Sebuah jawaban yang membuat Rein mengernyitkan dahinya. Apa maksudnya? Terlebih saat sepasang manik obsidian itu menangkap nametag milik laki-laki itu dan seringaian yang seketika membuat tubuh Rein bergetar hebat. Badai, tertulis dengan huruf kapital merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pentigraf Februari LFFL #3
FanfictionEVENT PENTIGRAF KAMPANYE LFFL #3 Yuk, baca hasil karya anggota kepenulisan LFFL angkatan ketiga! ©2021