28. Sang Tuan Rumah

51 12 0
                                    

Semburat hitam pekat tampak di cakrawala, dengan sang purnama mengantung indah di dirgantara ditemani polesan titik-titik kristal terlukis begitu indah, tapi keindahan itu tak mampu menghilangkan rasa getir dalam diri Selly yang berdiri terdiam mematung, menatap beku pintu tua dengan tinggi hampir tiga kali dirinya, berhiaskan debu dengan ukiran abstrak di setiap inci permukaannya, di apit deretan kaca besar, sebuah ciri khas bangunan peninggalan Europa kuno. Katanya, semua orang yang pergi ke rumah tua di atas bukit ini, tidak pernah ada yang kembali. Entah lah ... omong kosong apa itu, buktinya dirinya baik-baik saja sekarang, tidak ada yang terjadi, pikirnya sambil mendorong pintu itu dengan pelan dan hati-hati. Disambut suara derik dari engsel pintu yang seolah menandakan bahwa entah kapan terakhir kali seorang makhluk fana seperti dirinya pernah singgah. Dan kini dengan hati-hati Selly masuk ke dalam, melangkahkan kakinya perlahan. Terdiam sejenak menatap sekelilingnya, netranya berlarian ke setiap sudut bangunan, tapi percuma dirinya tak menemukan apa pun kecuali gulita. Seandainya dirinya tidak kalah taruhan, dia tidak harus berada di ruangan semenyeramkan ini sendirian. Kesal tentu saja, tapi permainan tetap permainan, tak mungkin dia mundur dan jadi pecundang. Kini dengan cepat Ia pun segera mengambil benda persegi panjang di kantung celana milik dan memotret dengan asal. Tentu tak perlu terlihat bagus, ini hanya sebagai bukti untuk teman-temannya yang menunggu di depan pintu gerbang, bukti jika ia tidak berdusta. Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama dia pun membalikkan badannya meraih kenop pintu, untuk secepatnya pergi dari rumah yang beraroma debu yang begitu kuat. "Sudah lama rumah ini tidak kedatangan tamu. Harusnya kau tak perlu terburu-buru Nona. Aturan di rumah ini adalah tidak boleh ada yang pergi sebelum bertemu dengan Tuan Rumah." Sebuah suara tiba-tiba saja terdengar.

Terkejut Selly membalikkan badannya begitu saja. Bola matanya membulat sempurna, mulutnya kelu tak mampu berkata atau bahkan berteriak. Seorang pria berdiri di undakan terlahir tangga, mengenakan jas terlihat mengkilap saat di terpa sinar rembulan, memantul sempurna dari deretan manik-manik di semua bagian jas milik, dan dengan kemeja hitam di dalamnya membungkus apik tubuhnya. Selly menelan salivanya, siluetnya saja terlihat begitu indah. Sampai seketika lamunannya buyar saat tanpa di sadari tiba-tiba sebuah angin seolah bergerak menerpa tubuh Selly begitu saja, membuat netranya terpejam sejenak dan alangkah terkejutnya ia saat sosok pria yang kini ia tahu berambut merah padam itu sudah tepat berada tepat di depan wajah. Entah bagaimana pria itu bisa mengikis jarak beberapa meter mereka dengan secepat kilat, tapi sungguh bukan itu fokus Selly, kini dengan cahaya rembulan dari balik jendela ia bisa melihatnya jelas bagaimana paras sang pria yang terukir maha sempurna oleh semesta, garis rahang yang tegas, hidung mancung yang seolah menantang gratifikasi, bilah merah muda yang ranum. Dia mahluk terelok yang pernah Selly liat di sepanjang eksistensinya di bumi. Kini ia sungguh tak mampu berkata ia hanya terpaku menatap bibir sang pria yang terlihat seolah senyuman samar dan perlahan ia kini bergerak mendekat ke arah telinga milik gadis itu kemudian berbisik lembut. "Perkenalkan saya Kim Taehyung sang tuan rumah. Terima kasih Nona manis sudah bersedia mengantarkan jiwa Nona untukku, aku akan mengambilnya dengan perlahan dan hati-hati. Please ... close your eyes and trust me." Ucapannya terdengar begitu menghipnotis, membuat Selly memejamkan mata bahkan tanpa merasa takut. Dan sedetik kemudian bibir dingin milik pria itu menyentuh bibir sang gadis, mengecapnya begitu dalam seolah dia begitu kehausan, bukan sebuah ciuman panas dan menggebu tapi berhasil membuat seluruh tubuh sang gadis lemas tak berdaya karena perlahan-lahan jiwa di dalam dirinya di hisap begitu saja. Dan dia antara batas sadarnya, malam ini akhirnya dia percaya alasan semua orang tidak pernah kembali dari rumah tua ini, karena sang tuan rumah ternyata begitu memikat, dengan bibir yang seluar biasa ini saat bersentuhan, begitu memabukkan membuat siapa pun akan sulit untuk kembali.

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang