31. Senarta

72 11 0
                                    

(n.) senandika & (a.) amerta

Berwarsa-warsa sudah saya tempatkan atensi absolut terhadap kamu, Shin Jimin. Kendati perserikatan jumantara mengulum kriminalitas, dapati sejumput angkara implisit di kening payoda atau sedikitnya para asterik sahut sapa dirimu, saya tahu kamu dengan baik. Acap-acap kamu melengserkan nukilan, tapi memori saya berfungsi baik tatkala wicaramu singgah sejemang, "Taehyung sudah menjelma sebagai bunga tercantik di kebun Tuhan, pun ia sudah dijemput dengan baik. Lantas mengapa aku tak dipetik pula?" Torsomu serupai oktan siap lebur saya kapan saja, geligimu serupai taring si buas siap mengerabit saya sang rapuh. Saya takut padamu. Jangan kecup saya, Jimin. Kamu pikir dirimu sudah berusaha imitasikan malaikat, alih-alih mengecam tenor di kerongkonganmu selembut usapanmu pada saya, kamu menenggelamkan saya di kubangan kelabu, Shin Jimin. Kamu bumihanguskan saya sewajarnya limbah, tapi kamu kembali rangkai saya selayaknya kaca retak di sudut lakunamu. Ah, saya kepalang hadapi kamu, Jimin. Kamu tahu, Ji? Hiposentrum sudah rusakkan atma saya, pula kamu. Sebab saya adalah kamu. Ia sudah lepaskan belenggu tantrum pencekik napas kita, andaikata emosi adalah tuan padat—baik kamu, atau aku .., kita akan menjadi gegana paling berbahaya sebab cipta puing-puing kronik dalam satu kecupan bulu mata. Kamu tidak boleh hilang, Park Jimin. Sama seperti tatkala disinggahi peluh, kita basah usai dihentak oksigen lalu kamu berbisik pada saya—atau sejatinya pada bumantara, "Taehyung bilang aku harus tetap hidup untuknya." Ah, kamu selalu melucu, Jimin. Saya sakit ingin terbahak. Dasar si tampan munafik, padahal kamu adalah sang pelipur dosa kala itu mengubur daksa beku Hwang Taehyung di bawah genangan padat salju. Lantas memanjangkan sekon, kamu tusuk saya oleh ruji-rujimu.

Shin Jimin Tersayang, izinkan saya beri kamu satu keranjang piknik dipenuhi toples-toples berisikan fragmen tuk temanimu di sudut ruang sebab sanubarimu kian berkarat, berdebu, dan enggan untuk disinggahi insan lain. Saya tidak bisa lihat melalui netra telanjang, tapi sekali lagi, saya adalah kamu. Saya tahu kamu sangat baik, saya tahu tiap inci kamu. Saya bisa lihat Jimin, begitu pula dengan Jimin. Seperti kala itu, kamu bilang saya cantik. "Kamu cantik sekali." Kupu-kupu kelitiki perut saya, astaga. Tapi dengan segala labium manis disinggahi gula kapas, tatkala malam selimuti setengah awang-awang tungkaimu dipenuhi emosi—cipta kelukur bersama Taehyung, ah sialnya saya juga kena, tahu? Lalu kamu seperti lansia seret raga dingin berdarah tuk ditenggelami salju. Rasa-rasanya kamu berengsek, begitu pula saya. Saya ingin berteriak tuk hentikan kamu, tapi saya tidak punya bibir atau geligi. Saya ingin halangi daksa kekarmu, tapi saya tidak punya tubuh. Atau barangkali, hanya barangkali .., saya ingin sang rungu jamah aroma darah, akan tetapi saya tidak punya. Saya hanya punya saya dan kamu, Shin Jimin. Bukan cecak berdiskusi bahasa harimau, bukan ruas-ruas jarimu bersenggama satu sama lain, atau sang rawi kerap sapa tapi kamu abaikan. Saya tidak bisa hentikan kamu tanpa tubuh atau suara, tapi saya ingin kamu berhenti menjadi pendosa ulung. Berikan lagi cumbu afeksimu pada saya, bukan cumbuan dipenuhi kelukur seperti ini.

"Aku tidak punya teman lagi." Rungu saya tak jamah aksaramu, namun saya tatap gerak labiummu. Unsur kekecewaan, setengah radang, lalu interversi bersama sanubarimu dan berakhir libatkan saya menjadi pesakitan. Lalu kamu meracau lagi kala itu, "Aku bosan." Dasar pria eksentrik. Saya di sini, di dekat kamu, selalu. Kamu bisa lihat saya, tapi mengapa tak pernah lontarkan secercah kelakar pada saya? Tanpa saya, kamu akan selalu ada di kubangan tanpa binar. Akan tetapi seringkali kamu tarik saya tuk ikuti pacu langkah menuju kriminalitas. Kita adalah satu kesatuan, saya paham. Kamu sedih, tapi saya yang ditenggelamkan sang keruh. Tidak apa-apa. Sebab tidak ada yang bisa saya lakukan selain tontoni kamu, lautan darah, dan terbentur di dasar laut untuk kamu. Saya selalu lakukan untuk kamu, Jimin. Saya ingin membentak kamu, "Pulanglah. Kamu tersesat!" Namun saya tidak bisa apa-apa untuk selamatkan kamu dari jeratan dosa. Saya hanya bisa tumpahkan arak, sebab saya adalah obsidianmu. Saya adalah ainmu, teman dalam bisumu sesungguhnya. Hei, Ji. Bukankah kita sama-sama lelah menumpahkan arak tuk insan yang seringkali kamu curi jiwanya? Andai saya memiliki suara dan sepasang daksa, alih-alih serupai petir—barangkali saya akan berbisik teduh padamu. Seolah saya adalah penaungmu. "Mari pulang, Shin Jimin. Rumah kita sudah menunggu." Tapi lagi-lagi, saya ini bisu dan tuli. Saya minta maaf, Shin Jimin.

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang