VII. Sayatan di Perutmu

40 6 0
                                    

     Kakiku rapuh, bersujud dan bercumbu dengan barel kayu. Meninggalkan beberapa tumpuk botol di atas meja yang sudah kuteguk. Mereka ingin mengamuk, memaki atas perbuatanku, namun air di pelupuk mataku menggantung. Membuat mereka mematung, meski rupa tidak lagi ayu; setengah telanjang dengan baju terkatung-katung. "Payah!" bisikmu, bergumul di kepala, mengacak-acak rona pipi dan menebar rasa linu pada sekujur tubuh. Aku ingin memekik, namun tertahan bersama masuknya berliter-liter cairan merah pekat membilas kerongkongan keringku. "Apa yang ada di kepalamu?" tanyamu, mulai hilang kesabaran. Kamu memang mengerti cara mengembalikan bara di mataku yang mulai redup. Lantas kujawab sambil menarik gelas dari labium, "kematian?" Kamu senyum, tidak. Kamu menyeringai. "Bagus, Byeonggu." 

            Meski hancur berkeping-keping, kucoba bangkit dan melawan bertumpuk-tumpuk duri dalam ruangan ini. Rasanya lebih pedih saat hampir setengah berdiri. Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain, dada yang membusuk ini terlalu berat dibusungkan kembali, terlalu padam untuk memercikkan api. Kemudian air mataku berhamburan, sengaja aku tidak menghapusnya, membiarkan tiap tetes bercampur dengan wine dalam gelas, sambil menatapmu menyeringai dengan letupan magma di puncak kepala. Kedua tanganmu bergerak membetulkan lusuhnya kerah bajuku. "Bersoleklah sedikit!" katamu. Aku diam. Kali ini benar-benar hilang segala rasa di dada, menggerakkan labiumku melempar tanya, "sebenarnya, atensiku di sini untuk apa?" Kamu jawab, "kematian." 

     Tuan dan Nyonya Wine tertawa, sebagaimana anak-anaknya yang setengah telanjang. Suara mereka menggema, menghasilkan degung yang membuatku menutup kedua telinga sambil  mengaduh-aduh. Di pertengahan rasa pedih, aku merasa posturmu masih saja tegap. Aku mengangkat pandang, menemui tajamnya sorot matamu. Aku iri, teramat sangat. Melihatmu kokoh tanpa goresan luka, sama sekali. Sedang aku, tentu kamu tahu betapa ringkih, malang, dan payahnya diriku. Benar, kamu tahu. Genangan pada pelukmu bilang begitu. "Temui apa yang ada di kepalamu!" katamu. Keningku berkerut, "lalu aku akan sama sepertimu?" "Sepertiku?" "Tetap tegap, meski tahu usahamu tidak akan merubah apapun, meski tahu tidak akan ada sisa tempat untukmu." Kamu diam. Menatapku dalam-dalam. Aku mengangkat lengkungku, begitu pun kamu. Aku menarik belati dalam perut, kamu pun begitu. Kita bersulang, meneguk berliter-liter cairan sewarna darah. "Kita serupa, Byeonggu."

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang