IV. Pahlawan

51 8 2
                                    


Aku mendengar rintihan saat melintas di depan gang sempit antara rumah Pak Julien dan Bu Sowon. Aku sedang membawa ikan pemberian Pak Jimin—manusia yang berhati baik—di mulut dan hendak naik ke atap. Aku berhenti dan menyempatkan diri untuk menoleh. Gang itu cukup remang di sore hari seperti ini. Terlihat beberapa anak kecil yang sedang ramai mempermainkan  temanku di sana. Mereka memukul-mukulkan lidi di punggung kecilnya sambil memaki dan tertawa. Tunggu. Ah, itu si June 'kan? Aku pun melangkahkan kaki, mendekat. Aku harus menolong si June. Aku teringat, dia kemarin mengeluh punggungnya sakit setelah dilempari pemilik warung berwarna biru di ujung jalan sana. Ya, dia memakan kepala pindang yang dibuang di latar rumahnya. 

Seketika aku berhenti. Otakku berputar. Bagaimana kalau aku juga dipukuli sepertinya? Apa aku mungkin selamat dari kejaran anak-anak kecil itu? Apakah aku juga akan menjadi sasaran mereka selanjutnya jika menolong June? Apakah aku tidak akan terluka? Kalau aku terluka, siapa yang akan melindungi anak-anakku yang sengaja aku tinggal di atap Pak Jimin? Ah, tidak-tidak. Kalau aku menolong June, ikan ini akan aku tinggal dan mungkin saja aku kehilangannya. Bagaimana dengan anak-anakku yang kelaparan di atas sana? Mereka baru berumur satu bulan dan hari ini waktunya mereka makan selain air susuku. Tapi, June ... dia pasti sangat kesakitan. Aku menundukkan kepala dan menggigit ikanku erat. Aku semakin bingung saat June merintih sambil memanggil namaku. Aku pun menoleh. Dadaku semakin berdegup kencang. Benar, dia melihatku sambil memelas. Ekornya diinjak agar tak bisa ke mana-mana. Aku semakin tak tega. Tapi, bagaimana—

"Woi! Ayo bubar! Siapa yang mengajari menyiksa kucing, ha?" teriak seseorang yang tak jauh dariku. Aku sedikit melompat karena kaget. Namun, aku menghela napas lega. Itu adalah suara Pak Jimin. Dia mengangkat tangannya ke arah anak-anak kecil itu. "Kucing itu tidak boleh disiksa. Malah harus disayang! Ayo bubar! Sunwoo, kaki kamu itu!"  Dia menunjuk kaki anak yang menginjak ekor June. Dengan cepat, June berlari menjauh, namun kakinya pincang. Astaga, dia sampai seperti itu. Aku memutuskan untuk menunggu June. Anak-anak itu tidak akan berani menyakiti kami karena ada Pak Jimin. "Kenapa? Kenapa menyiksa mereka? Karena mereka mencuri dari rumah kalian? Atau orang tua kalian mengajari untuk menyiksa mereka, karena mereka merusuh. Malah mereka  harus diberi makan biar tidak mencuri dan tidak merusuh. Paham? Kalian juga mau disiksa? Iya?" kata Pak Jimin yang membuat mereka menunduk. Dia mendekati June dan menggendongnya. Aku pun mengeong untuk berterima kasih lalu berjalan pergi untuk naik ke atap, memberikan ikan ini kepada anak-anakku dan harus segera menidurkan mereka setelah makan. Biasanya kalau Pak Jimin memergoki ada kucing yang disiksa, pasti ada suara tangisan dan rintihan minta ampun terdengar dari rumahnya.

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang