9. Dosa Dalam Sayap

105 19 0
                                    

Hwang Bia tidak pernah terkejut saat ia tengah berada di dalam atensi ruang yang mengejutkan. Sayap kirinya sudah penuh peluh seperti tinta yang hitam, beri sedikit waktu—maka, ia akan menyadari tentang berapa banyak dosa yang sudah ia perbuat hingga membuat putih tak lagi tampak dalam tangkapan lensa. Berani itu bukan sebuah kejahatan, ini kognisi. Atau mungkin, tidak? Ini seperti perspektif sederhana atas apa dan bagaimana cara ia memahami mekanisme-mekanisme dasar yang melandasi pikiran manusia tapi para manusia sendiri seringkali menyalahartikannya, memuakkan. Berjalan di garis syukur sebab afeksi kadang mengajak melakukannya, rupanya sebotol gembung serbuk pemberian dari ibu peri adalah alasan dimana dirinya merasa kuat sebab itu hasil dari kumpulan penderitaan dalam hidupnya. "Saat matahari terbenam, kadang aku merasa kosong. Apa Jung Hoseok baik-baik saja saat lenyap dari balik bukit? Ia kembali bersembunyi di belakang bukit, sedangkan aku juga kembali untuk menyapa air. Setidaknya, tempat ini jadi cantik dengan alih tongkat sihir ibu peri saat bintang dan bulang menggantikan posisi. Dengan begitu aku bisa terbelenggu dengan tenang dan menunggu fajar datang kembali guna menyapa Jung Hoseok dengan senyum sapaannya yang menawan." Bukit, sungai, langit, dan hutan berani bersaksi atas kekuatan cinta. Tapi, ibu peri masih bertumpu tegas pada pertanggungjawaban atas sebuah dosa. Ibu peri memang suka mengayunkan tongkat sihirnya guna memberi hadiah, tapi dengan atensi menakjubkan atas teoritis legendanya yang cantik itu, asal semua makhluk tau—ia bisa memutar balikkan fakta menjadi kutukan hijau-kehitaman yang mengerikan. Semudah membalikkan telapak tangan, ibu peri memberi keputusan—yang berdosa harus diberi peringatan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Jika kau masih akan terus mencintainya, maka aku akan menggiringmu menuju pintu neraka. Ranting-ranting pohon kering memanjang mengungkung menutup kemungkinan, cekungan lembah sungai sendirian tertutup dalam wadah kutukan yang mengerikan—sementara itu, sayap kanan mulai ternodai warna kehitaman. Rupanya, ini tidak semudah mengepakkan sayap dari sungai untuk kemudian terbang ke arah langit, garis bawahi itu.

Perbuatan baik dibalas dengan hadiah, sementara setiap dosa dibalas dengan kutukan. Siapa saja bisa bertobat, tapi hukuman tetap dengan tegas harus dijalankan. Jung Hoseok merasa buruk, Hwang Bia merasa kotor. Berani memang bukanlah sebuah kejahatan, tapi kognisi itu akan berujung pada wadah yang salah jika dampak yang dibuatnya menjadi berkesan penuh dosa. Terbelenggu dengan sungai, ia beserta sayapnya sedang membayarnya. Ibu peri bukan malaikat, ibu peri bukan iblis. Tuhan mengutusnya untuk bertanggung jawab atas perbuatan anak-anak dan segala kenakalan yang mereka perbuat. Konsekuensinya sudah berat, ini tidak bisa diganggu gugat. Jung Hoseok ingin menyapa Bia, tapi ibu peri masih membiarkan ranting-ranting pohon kering mengungkung lembah sungai di tengah hutan. Bia ingin terbang ke langit untuk memeluk Hoseok, tapi ibu peri masih membuatnya terbelenggu di atas air dan membuat sesuatu dari balik bukit kini tidak terlihat lagi. Bukitnya sudah tidak tampak, sungainya sudah terkungkung sepi, langitnya sudah menjadi gelap, sementara hutan sudah dibelenggu oleh ranting-ranting besar nan kering. Hukumannya memang gelap, tapi ini belum seberapa—nyala api masih menunggumu di neraka jika seluruh sayapmu berujung penuh oleh noda hitam sebab kau masih saja terus berani mencintainya.

Sejatinya Hoseok tidak hanya menyapa Bia, sejatinya Hoseok tidak tersenyum hanya untuk Bia, sejatinya Hoseok tidak datang hanya untuk Bia. Tetapi, Bia terlalu berani untuk datang terbang ke arah langit guna memeluk Hoseok karena terlalu cinta. Bia mengabaikan pesan ibu peri, Bia mengabaikan perintah Tuhan. Jika putih Bia akan berujung tidak tampak di titik akhir cerita, jika noda hitam menguasai tubuhnya dan tidak lagi hanya di sayap—maka, pertobatan tidak akan pernah diterima kendati demikian terbelenggu dalam sungai serta dikungkung hutan sendirian sudah dilaksanakan, sebab sedang dihukum saja Bia masih berani-beraninya mencintai Jung Hoseok. Berani mencintai saja sudah salah, kok, ini malah berani-beraninya masih memendam rasa bahkan tanpa penyesalan di atas janji sebuah pertaubatan. Hwang Bia tidak boleh mencintai Jung Hoseok, mencintai atas nama Hoseok dan sinarnya itu adalah sebuah dosa. Andaikata jika hal ini masih akan terjadi di akhir cerita nanti, maka ibu peri akan mulai pergi untuk kemudian berpasrah dengan sayap putih perinya yang menguncup serta tongkat sihir yang ditidurkan di atas tanah—tidak ada hal yang lebih buruk lagi selain hati Tuhan yang sakit karena sebuah pertobatan. Ini sebuah dosa, tentang makhluk Tuhan yang terlalu berani mencintai semesta.

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang