11. Freya dan Gelang Bintang

63 16 0
                                    

Freya menyeret langkah sebelum akhirnya memutuskan berhenti. Kakinya serasa terpanggang dalam mikrowave sepatu sesak. Tambahkan, ia sudah berjalan tanpa henti selama belasan jam! Ia hanya merasa tak layak berhenti menghentikan setiap orang yang ia temui untuk menyodorkan selembar foto hasil photobox sebulan yang lalu. Menjadi tanggung jawabnya membawa kembali adik semata wayang yang kabur sebab ketidakbecusannya sebagai kakak. Ah, entahlah! Freya benar-benar sudah sampai batas. Sembarang, ia selonjoran di depan hik gado-gado. Duagh! "Auch!" rintihan Freya tak berlebihan. Bayangkan kaki melepuh itu tersenggol keras. Serasa luka disiram air lemon. Perih. Tapi ia harus minta maaf, kan? Salah juga duduk di sembarang tempat. 

"Eumm. Maaf. Boleh saya tebus rasa bersalah saya dengan mentraktir Anda makan?" Tentu bukan Freya yang berkata. Ingin ia sampaikan bahwa ia yang semestinya minta maaf. Tapi saat cacing-cacing perut sedang menggelar konser begini, jadi sulit mendengar kata logika.Ia lapar dan tak punya uang. "Terima kasih" Dalam hati Freya berdecak takjub. Seperti berlian di antara lumpur. Penatnya seolah terobati berkat kebaikan dan wajah rupawan lelaki yang menabrak sekaligus menolongnya. Diam-diam ia lirik ukiran nama di tas gitar yang digendong di belakang punggung lelaki itu. Noonoo, nama unik buat lelaki tampan dan imut ini. "Ada yang mau Anda sampaikan?" Freya tersedot kembali ke alam nyata. Refleks ia sodorkan foto riang sang adik. "Pernah lihat gadis ini? Penampilannya terakhir mirip seperti dalam foto." Lelaki itu melihat seksama, menumbuhkan harap pada hati Freya. 

"Ya, jalan terus saja sampai kau temukan gang kecil. Kau akan dapatkan adikmu di sana. Tapi. Kalau cari gelang bintang, dia ada di sini dengan tangan cantiknya." Seringai lelaki tampan itu penuh luka. Menerawang pertemuannya dengan gadis yang ternyata kakak korbannya kali ini. "Memang semestinya semua remaja tak punya sebelah tangan. Jadi mereka takkan mengejek adikku. Jadi dia takkan memilih mati. Haha. Hahahaha." Tawa sakit dan putus asa itu menggema. Terpantul-pantul di antara belasan tangan yang ia gantung rapih di rumah luasnya. 

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang