I. Aku Si Penjaga Hati

55 6 1
                                    

Malam itu kami tidak sengaja berpas-pasan di taman kota. Aku menyapanya dan dia menghampiriku sehingga kami berdiri berhadapan. Jangan khawatir, sebenarnya dia bukan orang asing, kami sudah cukup lama saling mengenal. Namun di bawah sorot lampu taman yang terang, dia tidak terlihat seperti manusia pada umumnya. Wajah itu terpampang datar tanpa ekspresi, kedua matanya menyipit dikelilingi lebam kebiruan, hidungnya yang berwarna semerah tomat terlihat kembang kempis seperti kehabisan napas. Saat aku bertanya tentang keadaannya, pria berbaju polkadot merah itu menjawab, "Aku hanya sedang menjadi badut yang lucu, jangan khawatirkan aku!" Sambil tersenyum lebar. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, anggap saja sudah puas dengan jawabannya. Tidak perlu bertanya lebih jauh.

Hari berikutnya aku kembali berjalan-jalan di taman kota. Sengaja berangkat di tengah malam dengan harapan bertemu dengan si pria badut lagi. Kali ini aku membawakannya sesuatu. Sayang sekali malam ini kami tidak bertemu, begitu pun hari-hari berikutnya. Hingga tepat di hari kesepuluh jam tengah malam, aku melihatnya duduk di undak-undakan taman. Kali ini dia terlihat seperti manusia. Wajahnya tidak ada noda biru ataupun merah, hanya kusam kecoklatan dengan rambut gondrong berantakan dan tubuh yang berbalut pakaian compang-camping. Mirip budak di masa penjajahan. "Aku adalah seonggok mesin pencetak uang, tidak lebih," kata pria itu, sedangkan aku duduk di sebelahnya. Aku tersenyum, lalu menyerahkan hadiah kecil yang selalu kubawa setiap berjalan di taman kota, aku bilang jika dia menerimanya berarti kita lebih dari sebatas teman. Dia menerimanya dengan senang hati, dia juga berjanji akan berusaha menjadi pria yang terlihat lebih baik di pertemuan berikutnya.

Tepat sebulan kemudian kami kembali bertemu. Wajahnya bersih berseri, tidak ada warna biru, merah, ataupun kusam. Dia mengenakan setelan jas. Dia menjadi manusia yang lebih baik hingga tidak ada kata lain selain tampan yang melekat pada dirinya. Kurasa dia sudah menepati janjinya. Kami bergandengan tangan sambil sesekali melontar candaan lucu sepanjang perjalanan hingga tak terasa tujuan kami tepat di depan mata. aku memutuskan untuk pacaran dengannya, dan malam ini adalah kencan pertama kami. "Aku berjanji, mulai malam ini aku akan menjaga hatimu dengan baik," kataku mantap. Dia terkekeh, mengira ini sebuah candaan mungkin? Padahal aku bersungguh-sunguh. Lalu setelahnya dia merengkuh tubuhku erat, kepala kami saling bertautan beradu napas, dia mengeratkan pelukan dan merapatkan mulutnya ke telingaku lalu berbisik lirih, "Tidak perlu repot-repot. Biar aku saja yang menjaga hatimu dan segala perasaan di dalamnya." Bersamaan dengan itu kurasakan sesuatu yang tajam menggores panjang di leherku. Aku memekik kesakitan dan pria yang kini berstatus sebagai kekasihku ini menyeringai lebar. Tidak akan kubiarkan dia menguasai permainan ini. Perlahan aku menyingkap bagian bawah dress untuk mengambil sebilah pisau yang terselip di pahaku. Lalu dengan gerakan cepat aku menusuk punggungnya sehingga pisaunya terlempar jauh, ah rupanya hadiah itu sudah digunakan dengan baik, dan dia jatuh kesakitan. Tapi aku tidak peduli, yang penting tubuhku sudah bebas. Kali ini aku bisa menusuknya lebih banyak lagi dengan leluasa. Sudah kubilang aku dulu yang akan menjaga hatimu,Tuan Oh Sehun! Jadi jangan coba-coba kamu mendahuluiku!

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang