20. Merah Pagi

78 17 2
                                    

Pagi ini, menilik dari celah trails jendela kamar mandi, pasang netraku menatap langit bertudung merah. Aneh, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Mungkin, ia bosan mengenakan tudung biru lalu menggantinya. Atau Kakek Kura-kura tersandung saat berjalan (kasihan, dia sudah uzur). Keseimbangan Paman Gajah hancur dan Ibu menggelinding hingga langit tergores. Darahnya membaluri seluruh permukaan Ibu, sampai-sampai tukang pos dari matahari terhalang pengiriman cahayanya-cahaya panas yang setiap hari dipesan oleh Ibu Bumi. Kalau sungguhan realita, warna langitnya mirip dengan darah anak kucing tersungkur di selokan yang kulewati kemarin pagi saat menuju sekolah.

Pagi dingin di sekolah dibuka dengan tugas ilmu sosial dan tempat pengumpulan diserahkan kepadaku selaku ketua kelas. Rumit, aku harus bolak-balik tiap eksemplar buku untuk lima pertanyaan sederhana dengan jawaban sebaris pasukan tentara. Kulihat sekilas, sebagian besar murid di sini tidak menaruh pandang sedikitpun pada soal-malah berceloteh sejak presensi mereka memenuhi ruangan ini. Telingaku curi-curi dengar: konspirasi, berita lokal, siswa culun, karma menyiksa hewan. Tuhan akan menghukum manusia yang menyiksa makhluk lain. Aku masih curi-curi dengar sambil menuntaskan tugas, lalu kuhampiri mereka seraya berkata, "tidak mungkin, itu sudah jalan hidup mereka." Beberapa melukis air muka bingung, namun sepertinya mereka setuju-dilihat dari anggukan kecil serta mata yang kembang kempis.

Pagi ini sepi sejak kelopak netra mekar dan punggung menopang seluruh tubuh. Telingaku tidak curi gelombang seutas pun. Aneh, di mana Papa dan Mama? Aku menyeret kaki paksa ke ruang keluarga guna mencari obat sakit kepala. Sungguh, kepalaku sakit, seperti sesuatu berebut masuk di kepala. Karma, Tuhan, hukuman, darah, kucing, tendang. Aku mencari hingga seluk beluk tas, tapi nihil. Huh, haruskah ke luar? Dengan endapan uang di saku celana, kuraih gagang pintu lalu memutarnya. Oh, halusinasikah? Atau pikiranku akan langit bertudung merah pagi tadi-yang hanya kelakar-benar?

Pentigraf Februari LFFL #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang